Tuesday, November 27, 2007

Sarimin - Foto-foto Nonton Topeng Monyet




Dari pementasan Monolog SARIMIN di Purna Budaya (sekarang Pusat Kebudayaan Kusnadi Hardjosumantri).

diambil dengan cam dig pocket. Hasil tentu saja jauh dari profesional.

Sarimin - Laporan Hasil nonton Topeng Monyet

Akhirnya saya kesampaian nonton monolog Butet Kartaredjasa (BK) yang berjudul Sarimin (synopsis dapat dibaca disini)


Butet yang tak pernah mau disebut pelawak tapi selalu menampilkan kelucuan-kelucuan cerdas dalam tiap pentasnya sungguh memesona penonton dan juga saya.


Umpatan-umpatan akrab keseharian yang santai tanpa menghiraukan tata krama formalitas menjadi kelucuan yang mengalir deras. Dengan enteng umpatan “su!” beberapa kali mengalir dan disambut penonton dengan gelak tawa.


Sepanjang pertunjukan saya tak henti-hentinya tertawa meskipun sesekali serius mencoba menghayati lakon dan pesan apa yang ada di dalamnya.


Dalam lakon ini, BK melakonkan sebagai story teller, Sarimin, polisi dan pengacara. Sebagai Sarimin sang tukang penjaja hiburan “topeng monyet”, BK menggunakan kemampuan akting dan monolognya dengan baik. Bagaimana dia berbicara pada sang monyet yang juga bernama Sarimin, menjadi aksi yang menarik.


Ketika berganti peran sebagai polisi, BK juga secara maksimal mengeksploitasi kemampuannya “nyonthong” bak seorang polisi yang menawarkan “perdamaian” dengan Sarimin yang justru dituduh menipu dan menghina aparat dengan tidak meminta namun menganjurkan memberikan sejumlah uang damai. Suaranya menggelegar dan sangat natural seperti lakon yang sedang diperankannya.


Ketika berganti peran menjadi pengacara, BK pun berbicara dengan logat Batak yang tak kalah naturalnya dengan pengacara kondang ibukota spesialis pembela selebriti yang membutuhkan konseling legal. Dengan bernamakan Binsar tapi tanpa marga (karena takut disomasi, katanya!), BK akhirnya berani mengatakan bahwa marganya tidak ada di Sumatra Utara, karena marganya adalah Kussudiarjo. Bagian ini benar-benar menguras selera tawa saya sampai sakit perut!


Pesan yang saya tangkap, Sarimin adalah sebuah lakon yang ingin mentertawakan carut marutnya dunia hukum di Indonesia serta betapa ruwetnya lembaga aparat yang tak menghiraukan seorang warga yang hendak melaporkan kejadian yang terjadi.


BK memang gila!


Selepas pertunjukkan, saya menyempatkan diri ke belakang panggung dan menyalami BK sambil memberikan beberapa bungkus rokok untuk koleksinya. Beberapa penonton ikut ke belakang panggung untuk minta foto bersama dan minta tanda tangan. Salah seorang penonton yang minta berfoto, berasal dari Surabaya dan mengatakan memburu pementasan ini karena tak terjadwal main di Surabaya.


BK menjawab, akan main di Surabaya pada tanggal 14 – 15 Desember 2007 di Taman Cak Durasim. Jadi, bagi yang ingin menyaksikan Sarimin di Surabaya, bersiaplah!

foto-foto seadanya bisa dilihat di sini.

 

Thursday, November 22, 2007

Sarimin - Biografi Butet Kartaredjasa

Jalan Keaktoran Butet Kartaredjasa....


Banyak jalan menuju Roma. Banyak jalan mencapai kebaikan. Ketika agama terlalu dogmatis dan kehilangan ruang bagi penafsiran yang berbeda dan karenanya cenderung makin intoleransi, maka agama sebenarnya telah meninggalkan ruang jiwa manusia. Setidaknya, itulah yang diyakini Butet Kartaredjasa, seseorang yang seperti ditakdirkan untuk meragukan setiap keyakinan absolut yang berlebihan, termasuk kepada agama – dan sebagaimana nanti bisa Anda ketahui, juga pada dunia teater yang dicintainya.

Setiap manusia akan menemukan jalan kebahagiaannya sendiri-sendiri, dan itu adalah proses menjadi manusia. Itulah kesamaan yang dirasakan Butet ketika ia mulai berproses dalam dunia teater. “Proses berteater adalah proses menemukan keyakinan, juga kebahagiaan,” kata Butet yang sejak masa belia memang sudah menjeburkan diri ke dunia teater bersama Teater Kita-kita, Teater Dinasti, Teater Gandrik, dan kemudian setelah ngetop markotop juga rela berpeluh-peluh mengikuti proses produksi pertunjukan. Semua itu, menurut Butet, ia jalani sebagai pilihan untuk terus berproses menemukan apa yang diyakini sebagai “jalan kebahagiaan”. Mungkin seperti Musashi yang menempuh “jalan pedang”, Butet menempuh “jalan keaktoran” untuk mematangkan jiwanya. Karena itulah, proses berteater, yakni proses ketika menjalani darma keaktorannya, selalu Butet upayakan sebagai peningkatan kualitas kemanusiaannya. Main teater bukan berujung pada panggung, tetapi pada hidup.

Maka, teater dengan segala tetek bengeknya, tak boleh mengalahkan hidup. “Karna itulah dalam berteater, kita tak boleh mengorbankan hidup,” tegasnya. “Teater telah mengajarkan saya, bawa kita hanyalah bagian dari hidup, bagian dari orang lain. Seorang aktor tak pernah hidup sendirian.”

Ia memahami hal itu, barangkali, karena ia tak memelajari teater secara formal. Studi formal yang ditempuhnya justru di bidang seni rupa, yang sempat dienyamnya hingga drop out Fakultas Seni Rupa dan Desain, Institut Seni Indonesia Yogyakarta. Sekolah teaternya adalah kehidupan. Dan kehidupan selalu memberinya kesadaran, bahwa sebagai individu, ia hanyalah menjadi bagian dari tata nilai yang lebih besar. Menurutnya, tanggungjawab seorang aktor, sesungguhnya bersikap kritis terhadap tata nilai yang lebih besar itu, terutama ketika tata nilai itu dirasakan makin hegemonik, menekan dan menutup ruang dialog. “Saya bisa merasakan kebahagiaan, apabila sebagai aktor, saya bisa menyurakan keberagaman suara-suara agar tercipta suasana kehidupan yang lebih dialogis,” kata aktor kelahiran Yogyakarta 21 November 1961 ini.

Dalam kultur yang dialogis itu, toleransi bisa dibangun, kerendahatian bisa menjadi keindahan pergaulan. Dan semua itu ditemukan Butet dalam proses berteaternya. “Ketika kita ingin mementaskan sebuah lakon, sesungguhnya kita tengah menggagas sebuah cita-cita. Sedang memperjuangkan gagasan. Secata internal, gagasan itu mesti bertarung dalam suasana yang demokratis, agar ketika ia telah menjadi kenyataan eksternal pertunjukan, gagasan itu pun bisa bersikap demokratis terhadap gagasan lainnya. Karena tak ada yang absolut!” tegas Butet. Makanya ia pun berpendapat, dunia teater pun bukanlah hal yang paling benar dalam hidupnya. “Saya mencintai teater, tetapi tidak mendewakannya.”

Itulah yang ia hayati ketika sejak dini ia mulai merasakan semacam keyakinan: bahwa menjadi aktor berarti juga menjadi manusia. Jalan untuk mencapai keaktoran adalah jalan yang dipilih oleh seseorang untuk menemukan kualitas kemanusiaannya. Sejak ia terpilih sebagai Aktor Terbaik di Festival Teater SLTA se DIY tahun 1979 dan 1981 (yang menobatkannya juga sebagai Sutradara Terbaik), hingga ia bermain di semua lakon Teater Gandrik, di Teater Koma, Teater Mandiri, dan main monolog untuk pertama kali membawakan naskah Racun Tembakau tahun 1986, dan kemudian dikutuk menjadi “Raja Monolog” setelah memainkan monolog Lidah Pingsan (1997), Lidah (Masih) Pingsan (1998), Mayat Terhormat (2001), Matinya Toekang Kritik (2006), -- Butet menghayati semua itu sebagai proses untuk menemukan kualitas kemanusiaannya itu.

“Barangkali, dalam proses itu saya gagal. Tetapi sebuah proses adalah proses “menjadi”, bukan sesuatu yang final atau selesai,” kata peraih penghargaan Tokoh Seni versi PWI Yogya 1999 ini. Penghargaan itu, dan bermacam penghargaan lainnya, barangkali menjadi tanda bagi jalan keaktoran yang ditempuh Butet. Seperti ketika ia ikut main dalam film Petualangan Sherina, Banyu Biru, Maskot atau beberapa sinetron, maka itu adalah jalan yang selalu dihayati dan dinikmati dengan kesungguhan yang sama.

Ada orang yang bahagia dengan jalan melakukan korupsi, ujarnya bercanda. “Saya sebenarnya tergolong orang yang sederhana: saya sudah cukup bahagia bila bisa bermain teater. Menjalankan darma keaktoran saya. Tetapi saya tentu saja jauh akan lebih bahagia apabila republik ini lebih menghargai teater...” Kali ini ia tidak bercanda!


sumber: Butet Kartaredjasa

Sarimin - Tulisan N Riantiarno

 

THE GOOD PERSON OF BANTUL

catatan: N. RIANTIARNO



Butet Kartaredjasa, siapa tak kenal? Setiap kali kritikus teater membahas monodrama, atau teater monolog, rasanya kurang afdol jika tidak memperbincangan Butet. Begitu pula sebaliknya. Nama Butet nyaris identik dengan perkembangan monodrama di Indonesia. Tapi, sesungguhnya, Butet tak hanya aktor monodrama. Dia aktor. Jiwa raga. Keseluruhan.


Mulanya dia bermain drama bersama kelompok Teater Gandrik, Yogyakarta. Lalu, bertahun kemudian, bersama adik kandungnya -- Djaduk Ferianto, pemusik penuh bakat dan serba bisa itu -- Butet semakin lebih sering bergiat di Jakarta. Dia bermain sinetron dan film layar lebar, ngamen monolog di banyak tempat, dan sering terlibat pementasan dengan kelompok teater Jakarta. Malah, jadi bintang iklan! Dia juga membidani lahirnya tayangan acara televisi bertajuk 76 Detik.


Butet sering berhasil menghidupkan suasana adegan dari setiap pentas drama yang dilakoninya. Senantiasa berusaha sekuat daya mencipta keunikan dan keajaiban seni peran. Tapi dalam perkara mengocok perut, Butet ahlinya. Dia menghibur, sekaligus mengajak berfikir. Memprovokasi agar audiens ikut memikirkan sesuatu. Banyak pihak yang terusik, gelisah, karena -- meski sudah ikut memikirkan -- tetap tak ada jalan keluar. Monoril di Jakarta, misalnya, yang hingga kini masih berupa tiang-tiang, dan busway yang bikin macet. Atau banjir. Atau korupsi yang kian membudaya dan menular secara topdown. Ada jalan keluarnya? Tapi, sementara mereka yang terusik seakan duduk di atas bara api, Butet sih santai melahap sate klatak di Bantul, atau mangut lele di dekat kampus ISI Yogya. Atau, dia sudah terlibat kegiatan lain, baik di Indonesia maupun di luar negeri.


Jarang yang tahu, selain sebagai aktor, dia juga punya keahlian langka. Salah satunya, dalam perkara kuliner. Dia tahu warung-warung mana saja di Yogyakarta yang legendaris, punya sejarah, dan tentu rasa masakannya maknyos. Setiap kali singgah di sebuah kota atau daerah, perburuan yang pertamakali dilakukan adalah mendata warung atau restoran. Dia punya buku kecil. Di buku itulah dia mencatat warung dan restoran yang pantas didatangi, dites keampuhan rasa masakannya. Dan bilamana lulus ujicoba, pantas didatangi kembali. Lidahnya sangat cerdas.


Kadang saya merasa, bisa jadi bakat besar Butet sebagai aktor punya hibungan erat dengan lidah cerdasnya itu. Bukankah mampu membedakan makanan enak dan tidak enak, bersumber dari kekuatan rasa? Memiliki kemampuan ‘memilah rasa’, antara lain, bisa menjadi modal bermanfaat bagi seorang calon aktor. Jika seorang calon aktor hanya punya dua kriteria dalam merasakan jenis masakan, yakni; ‘sangat enak’ dan ‘enak’ saja, maka kekuatan rasa yang berhubungan dengan kemampuan ‘memilah dan membedakan’, mungkin cenderung tumpul. Lalu bagaimana dia mampu membedah karakterisasi peran, yang jauh lebih kompleks?

Tentu saja, analisis saya baru asumsi. Samasekali tidak ilmiah. Belum diriset secara detil. Keaktoran Butet, lebih bersumber pada, Pertama; bakat besar yang memang sudah dimilikinya sejak lahir. Sebuah given dari Langit. Kedua; lingkungan yang sangat mendukung. Ayahnya, Bagong Kussudiardja, adalah seniman besar. Selain koreografer dan penari handal, Bagong juga pelukis. Paman dan kakak-kakak Butet, penari dan koreografer juga. Padepokan-seni, warisan Sang Ayah, kini Butet yang melanjutkan gerak hidupnya. Setiap hari, Butet menghirup suasana berkesenian. Dan sejak kecil, Butet hidup dalam dua lingkungan suasana yang sangat mempengaruhi gerak kreatifnya; seni tradisional dan kontemporer. Akar kesenian Butet adalah tradisional, tapi gerak perkembangan kreatifnya, terutama pemikiran serta keterlibatan emosi dan imaji, mengacu ke arah kawasan yang kontemporer. Dia bergaul akrab dengan pemikiran-pemikiran masa kini yang aktual. Menafsirnya secara kreatif dan bebas. Hasil tafsirnya muncul dalam setiap pentas yang dia gelar. Ketiga; pengalamannya yang segudang, baik pengalaman batin maupun kegiatan praktis.


Ada satu lagi yang membikin gerak-kreatif Butet selalu aktual. Silaturahmi yang kuat. Dia mudah bergaul dengan siapa saja. Akrab berbincang tanpa memilah status maupun usia. Tentu dia menyerap semua itu. Saya yakin, agar bisa maju dan berkembang, seorang aktor harus senantiasa memperkaya daya kepekaannya lewat berbagai hal dan cara. Dia harus banyak mendengar, melihat, menyerap, merasakan, membaca, menonton, mengamati, menafsir, dan memaknai, apa saja. Itulah inti dari kreativitas. Pergaulan lewat silaturahmi, bisa menjadi salah satu pintu. Dan Butet, seakan tak pernah kehabisan tenaga untuk bersilaturahmi.


Dalam sehari semalam, misal, pagi dia sarapan dengan seseorang, untuk membahas perkara bisnis, atau sekedar bertemu. Lalu shooting. Lari sejenak untuk makan siang dengan pengusaha, shooting lagi. Malamnya latihan drama. Dan tengah malam, usai latihan drama, masih juga menyempatkan diri ketemu produser untuk membahas, perkara kontrak, misalnya. Dan hal itu, bisa dia lakukan 7 hari dalam seminggu! Stamina Butet luar biasa.


Komitmen juga imej utama, yang akhirnya membikin Butet menjadi aktor yang patut diperhitungkan. Jika sudah komit, Butet tak akan ingkar janji. Itu sejauh yang saya tahu. Saya sering bekerjasama dengan Butet. Baik dalam sinetron, film, drama, animasi dan banyak lagi. Dan saya tak pernah kecewa. Dia selalu berupaya memberikan yang terbaik, seringkali tanpa berhitung. Sikap kreatifnya kadang sangat mengharukan. Tapi itulah Butet. Dia menganggap, apa yang diberikan memang sudah sepatutnya diberikan. Rasa tulus, menyebabkan andilnya menjadi plus-point yang bermakna.

Bagi saya, Butet mungkin The Good Person of Bantul. Orang seperti Butet, saya yakin, mudah maju. Jalannya selalu dilapangkan. Insya Allah. Karena dia juga sering melapangkan jalan orang lain. Butet bukan sekedar aktor. Dia budayawan. Manusia. Manusia baik. Andai kita memiliki banyak Butet, mungkin suasana kesenian kita lebih meriah. Kocak berotak. Dan asyik deh.


Jakarta, Oktober 2007.

 

sumber: Butet Kartaredjasa

Sarimin - Proses Kreatif

Belajar Memanusiakan Gagasan

Proses (Kreatif) Seputar “Sarimin”



Ketika Pak Pradjoto “memprovokasi” kami untuk mengangkat tema hukum dalam monolog, kami agak gemetar juga. Pertama, karena tema hukum sudah barang tentu sebuah tema yang besar dan (mungkin malah cenderung) abstrak. Tema seperti itu jelas akan membawa implikasi tersendiri: kalau kami tak hati-hati, maka kami akan terjebak dalam lakon yang bombastis dan jargonis. Kedua, persoalan hukum dengan segala carut-marutnya, barangkali sudah terlalu menjadi rahasia umum. Artinya, segala borok sistem hukum di republik ini, bukanlah hal yang aneh lagi. Bila kami melakonkan hal itu, sudah tentu akan menjadi truisme atau mengafirmasi apa yang sudah diketahui, yang berakibat bisa menjadi klise-klise yang makin membosankan.

Celakanya, Pak Pradjoto dengan kemampuan persuasifnya yang jauh lebih cerdas dibanding para juru kampanye yang ada di Indonesia, berhasil meyakinkan kami untuk mengolah tema hukum itu. Ia mengajak kami untuk memahami tema itu tidak melalui pengertian-pengertian abstrak, tetapi membawa kami pada “situasi” dan “kondisi” yang terjadi. Maka kami (dalam hal ini Butet Kartaredjasa dan Agus Noor) diajak oleh Pak Pradjoto untuk melakukan pertemuan-pertemuan dan berdiskusi dengan Luhut M. Pangaribuan. Dengan begitu fasih, Luhut memberi gambaran situasional tentang sistem hukum dan peradilan. Terus terang, kami merasa tercerahkan.

Pertemuan-pertemuan itu telah membuat kami menemukan peluang untuk mulai menggarap lakon dimaksud. Paling tidak kami telah menemukan kata kunci: “situasi” -- yakni kata kunci yang kami pikir bisa menjembatani tema dengan bentuk pertunjukan. Yakni, kami mesti masuk ke dalam “situasi” bukan “abstraksi”. Kami seperti menemukan jalan bagi pertunjukan kami nanti. Kami bayangkan, lakon adalah sebuah “situasi” yang mampu menghadirkan secara konkrit pengalaman seseorang (manusia) dalam proses dan sistem hukum itu. Dari situlah kami kemudian merancang satu cara bercerita dan struktur pertunjukan yang kira-kira bisa menghadirkan “situasi” itu. Situasi, dalam sebuah lakon, berarti peristiwa dan suasana. Maka pola bercerita lakon ini pun lebih bertumpu pada sebuah upaya untuk menghadirkan peristiwa dan suasana seperti itu.

Setidaknya, ini akan memberi penekanan yang berbeda di banding dengan lakon-lakon monolog yang telah kami kerjakan, seperti Matinya Toekang Kritik, misalnya. Bahkan, mungkin boleh dibilang keluar dari konvensi pertunjukan monolog pada umumnya. Kita tahu, pertunjukan monolog memiliki pola penceritaan yang cenderung langsung, lebih bersifat ujaran, satu story telling, dimana kisah diceritakan oleh aktor kepada penonton. Inilah yang ingin kami ubah dalam pertunjukan ini. Kami ingin mengeksplorasi kemungkinan-kemungkinan yang bisa dicapai oleh bentuk pertunjukan monolog. Yakni dengan cara mengindari “penceritaan langsung” itu seminim mungkin, dan lebih menekankan pada bagaimana caranya menghadirkan “situasi”, peristiwa dan suasana. Dengan kata lain, kisah tidak sekadar dituturkan, tetapi dihadirkan. Tokoh berada dalam stuasi atau peristiwa yang secara konkrit muncul di panggung. Kira-kira begitu gagasannya.

Gagasan awal pertunjukan sudah kami bayangkan. Maka kami pun bertemu untuk rembugan artistik. Berkumpulah Butet Kartaredjasa, Agus Noor, Djaduk Ferianto, Ong Harry Wahyu. Agus datang dengan gagasan cerita: tentang seorang tukang topeng monyet keliling. Sosok inilah yang dianggap bisa merepresentasi gagasan tematik sekaligus artistik. Tukang topeng monyet bisa menjadi sebuah karakter, bisa menghadirkan sebuah suasana dan situasi, sekaligus topeng monyet itu menjadi titik pijak untuk menggarap artistik pertunjukan. Bayangan setting, tata panggung, pola pengadegan dibicarakan dengan penuh semangat. Agak aneh sebenarnya: karena naskahnya sendiri belum ada!!

Ini menjadi proses yang unik juga bagi kami. Biasanya, seperti dalam Matinya Toekang Kritik, naskah sudah selesai sebagai teks. Dari teks naskah itulah setiap yang terlibat menafsir, memberi solusi artistik, menambahkan, mengembangkan dan sebagainya. Lah ini, naskahnya (bahkan judulnya saja belum diputuskan) kok sudah ndakik-ndakik merancang artistik!

Pada akhirnya, naskah ditulis dengan suatu kesadaran untuk mengakomodasi (semua) gagasan artistik itu. Jadi sudah ada dua hal yang mulai nampak: satu, naskah mesti memilih cara untuk menghadirkan peristiwa dan suasana dalam struktur pernceritaannya; dua, membayangkan topeng monyet sebagai spirit pemanggungannya. Dua hal itulah, yang kemudian dalam proses latihan terus dikembangkan.

Pada tahap ini, kemudian judul Sarimin mulai dipilih (sebelumnya tokoh dalam lakon ini benama Saridin). Judul Sarimin, dianggap lebih bisa mewakili gagasan artistik, yakni spirit topeng monyet. Dengan judul Sarimin pula, lakon seakan menegaskan: bahwa ini adalah kisah tentang manusia bernama Sarimin. Yang jadi perhatian adalah nasib Sarimin. Progresi kejiwaan dan psikologis Sarimin. Jadi, kami melihat bahwa hukum hanyalah tema, tetapi lakon ini tetaplah bertitik tumpu pada kisah manusia. Judul itu, mungkin juga menjadi cara bagi kami untuk mentranformasikan yang “abstrak” menjadi yang “situasi”, yang konkret. Di sini kami ingat Suyatna Anirun, bahwa lakon adalah upaya memanusiakan ide-ide, untuk menghadirkan manusia secara konkrit.

Dengan dasar dan spirit seni topeng monyet itulah, kami kemudian mengembangkan gagasan seputar “tata artistik yang organik”. Yaitu sebuah keinginan untuk memaksimalkan setiap elemen estetik pemanggungan, agar menjadi satu kesatuan dalam setiap pergantian suasana dan situasi yang ingin dicapai tiap bagian. Terlibatnya Kill The DJ (a.k.a Marzooki) ke dalam proses latihan, makin memberikan solusi bagi konsep “artistik yang organik” itu. Bagaimana perubahan ruang dan waktu penceritaan, perubahan setting dan tempat peristiwa, dibentuk melalui elemen-elemen artistik yang multi fungsi. Semua elemen setting menjadi kesatuan yang organis dalam pertunjukan. Semua itu ditempuh sebagai upaya untuk memecahkan ruang penceritaan yang memang lumayan banyak, sebagai akibat dari upaya menghadirkan peristiwa itu

Cara seperti itu, kemudian juga kami sadari, ialah sebuah cara bagi kami untuk tidak melakukan pengulangan tekhnis atas apa yang telah kami lakukan sebelumnya. Dengan tata artistik yang organik itu maka lakon monolog Sarimin ini menghindarkan diri pada kecanggihan tekhnologi (sebagaimana dalam Matinya Toekang Kritik, misalnya). Pada Sarimin kami lebih mengembangkan trik-trik, spectakle, gimick pemanggungan yang mengacu pada spirit teater tradisional. Ini juga kami tempuh untuk lebih banyak menciptakan kejadian, peristiwa. Di samping hal itu memang akan membuat pertunjukan Sarimin ini lebih organik, sebagaimana yang kami bayangkan.

Semua itu, tentu saja sebuah proses yang sebenarnya terus kami cari dan kembangkan. Segala istilah dan konsepsi yang muncul dalam tulisan ini, hanyalah sekadar sebuah upaya kami untuk menuliskan apa yang telah dan sedang kami lakukan dalam mempersiapkan monolog Sarimin ini. Sebuah proses kreatif, konon banyak yang mengatakan, muskil untuk dijelaskan. Tapi kami percaya, menuliskan proses kreatif, apalagi proses kreatif dalam mempersiapkan sebuah pertunjukan, akan bisa menjelaskan bagaimana sebuah ide berjalan dan berkembang. Dan ia tidak sendirian.

Itulah sebabnya, teater tak pernah berdiam di menara gading!

 

 

sumber: Butet Kartaredjasa

Sarimin - Monolog by Butet Kartaredjasa

Bagi yang suka dengan penampilan Butet Kartaredjasa, menikmati pementasan Monolog "Sarimin" adalah kerinduan yang harus dilepaskan.

"Sarimin" telah dipentaskan di Jakarta, 14 sd 18 November 2007, pukul 20.00
Graha Bakti Budaya, Taman Ismail Marzuki, Jakarta dan menyusul di Yogyakarta, 26 dan 27 November 2007, pukul 20.00 di Purna Budaya, Pusat Kebudayaan Koesnadi Hardjasoemantri, Bulaksumur, UGM, Yogyakarta. Selengkapnya bisa dibaca di sini

Berikut adalah Sinopsis yang saya dapatkan langsung dari Sang Sarimin:

Mungkin pernah suatu hari Anda bertemu Sarimin. Tak sengaja Anda berpapasan dengannya di jalan. Anda melihatnya tengah berjalan dengan seekor monyet di pikulan yang dibawanya. Melihat penampilannya, Anda langsung tahu kalau Sarimin seorang tukang topeng monyet keliling. Anda mungkin malah tak hanya melihatnya sekali. Anda sering melihat Sarimin lalu-lalang. Seperti ada Sarimin di mana-mana. Karena memang begitulah, hampir setiap hari, sepanjang hidupnya, Sarimin selalu keliling keluar masuk kampung. Usianya sudah 54 tahun. Dan selama itu pula nasib membuatnya konsisten menjadi tukang topeng monyet keliling.

Suatu hari, secara tak sengaja, Sarimin menemukan KTP yang tergeletak di pinggir jalan. Entahlah, apakah Sarimin berniat baik atau sekadar spontan, ketika ia akhirnya mengambil KTP itu dan bermaksud mengembalikan pada pemiliknya. Tapi ia buta huruf. Ia tak bisa membaca, KTP siapa itu. Lalu ia merasa kalau lebih baik ia mendatangi kantor polisi untuk menyerahkan KTP yang ditemukannya itu. “Biar nanti Pak Pulisi yang nganter ke pemiliknya,” ujar Sarimin.

Sama sekali Sarimin tak pernah menyangka, bahwa urusan KTP itu tak sesederhana yang dikiranya. Ia sama sekali tak pernah menduga, betapa itu justru merupakan awal perubahan nasibnya. Di kantor polisi, ia dibiarkan menunggu, karena para polisi sibuk mengurus perkara yang lebih besar. Ketika akhirnya seorang Polisi secara tak sengaca melihat Sarimin, dia malah disalahkan: karena dianggap tak cepat-cepat menyerahkan KTP yang ditemukannya itu. Karena ternyata KTP itu adalah KTP Hakim Agung!

Dari sinilah perubahan nasib itu membuat Sarimin mulai menyadari, betapa ia berhadapan dengan sesuatu yang tak sepenuhnya ia fahami. Sesuatu yang bisa membolak-balik nasibnya. Apa yang selama ini ia anggap baik, bisa berbalik salah. Apa yang ia yakini benar, ternyata bisa salah. Karena seperti kata pengacara yang (seharusnya) membelanya, “Karna benar, maka kamu salah!”.

Anda barangkali pernah melihat Sarimin. Pernah mendengar kisahnya. Atau bahkan Anda pernah juga mencicipi menjadi korban hukum, bernasib seperti Sarimin. Tapi adakah Anda (mau) mengingatnya?!

TQ to Butet Kartaredjasa (sampai jumpa di belakang panggung tanggal 26 November 2007, yo dab!)

Tuesday, November 20, 2007

Super Mom vs Dokter sales Obat

 

Jumat, 26 Oktober 2007, kakak mengirim SMS yang berbunyi: “Mami masuk RS kena DB”.


Karena ini bukanlah penyakit yang kritis, saya bermaksud mengunjungi sambil memberi kejutan. Saya langsung nongol di RS tanggal 30 Oktober pagi. Mami dan kakak saya surprised koq tidak kasih kabar lebih dahulu. Siang itu, dokter yang merawat mengatakan sudah boleh pulang besok hari. Mami mengatakan masih kurang enak badan. Saya pamit tanggal 31 malam pulang.


Yogya, 1 November 2007 pagi, saya menelepon kakak saya dan dikabari bahwa mami sesak nafas. Ini berlanjut sampai besok harinya. Kakak saya memutuskan untuk memindahkan ke ICU setelah mendapat masukan dari perawat ICU yang kami kenal.


Namun, perawat di bangsal tersebut “mempersulit” pemindahan ke ICU dengan bertanya”Apa sudah diperhitungkan biayanya?” dan memberi pernyataan yang aneh “Paling-paling di ICU cuma dikasih alat monitor saja, belum tentu dirawat dengan baik”


Akhirnya, Sabtu, 3 November 2007 malam (21.00) baru mami dipindahkan ke ICU.


Mengapa sih, di RS yang sama saja para perawat itu berebut pasien?

Mengapa sih, perawat tidak mendahulukan kepentingan pasien?

Bahasa politiknya, mendahulukan kepentingan kelompok dan golongan!


Kepindahan ke ICU boleh dibilang terlambat karena supply oksigen ke otak memang kurang sehingga mami mengalami sesak nafas. Begitu dipindah ke ICU, sesak nafas mami berkurang. Namun, problem lain muncul. Ternyata, menurut dokter, infeksi sudah menyebar ke seluruh tubuh.


Sabtu malam itu saya benar-benar bingung. Mau berangkat ke Surabaya, hari Minggu saya masih harus mengajar untuk pertemuan terakhir karena murid saya segera mengikuti tes TOEFL untuk bekal sekolahnya ke Amrik. Saya tetap berpikir bahwa tak akan terjadi apa-apa. Dan keyakinan saya ada benarnya.


Minggu, 4 November 2007, saya berangkat dengan Kereta Api pukul 16.00 dan tiba di Surabaya pukul 22.00. Saya langsung masuk ke ICU dan melihat mami meronta-ronta kesakitan sambil mengigau mengucapkan kalimat-kalimat yang rancu sebagaimana orang sakit pada umumnya. Dokter menyatakan ini pra-comma karena mami tak mengenali orang-orang terdekat. Ini adalah istilah baru buat saya.

Menurut kakak saya, sejak sabtu malam, mami terus merasa kesakitan. Saya benar-benar tak tega melihat mami berlilitkan berbagai macam selang infus.


Senin, 5 November 2007, kondisi mami melemah. Tidur terus dan tak bisa membuka mata. Hanya menjawab dengan YA ketika ditanya. Ini berlanjut sampai Selasa.


Rabu, 7 November 2007 kondisi sudah membaik dan membuka mata. Kesadarannya jauh lebih bagus dan mengenali semua orang yang ada disana. Namun, dokter tak datang berkunjung.


Kamis, 8 November 2007, lepas tengah malam, dokter baru datang berkunjung. Saya meminta dokter untuk bertanya sendiri pada mami dan mami bisa menyebut nama dokter dengan sempurna. Dokter pun tersenyum melihat kemajuan ini. Kemudian mami mengatakan “saya lapar”. Dokter menginjinkan pemberian susu mulai besok.


Jumat pagi, 9 November 2007, setelah dibersihkan oleh para perawat dan akan diberi susu, mami mengalami pendarahan dan muntah darah sangat banyak. Keadaan jadi berubah total. Tranfusi darah harus dilakukan dan obat-obatan lain harus dimasukkan lewat infus. Tensi drop, O2 juga turun dan denyut nadi menjadi tidak stabil di bawah normal. Padahal hari-hari sebelumnya sudah bagus.


Dokter spesialis darah meminta kami banyak berdoa dan memberikan dukungan spiritual. Kalimat ini kami terjemahkan bahwa kami harus bersandar pada Tuhan YME. Kami berdoa tak henti-hentinya.


Sabtu, 10 November 2007 kondisi membaik. Kesadaran mami luar biasa. Dia lebih banyak bicara dan gerakannya juga lebih banyak. Kami senang tapi masih terus berdoa untuk kesembuhan mami. Kami juga terus memberi semangat pada mami untuk bertahan dan meyakinkan bahwa mami bisa sembuh. Beliau sendiri jika ditanya keyakinannya bisa sembuh, selalu menjawab dengan penuh percaya diri bahwa bisa sembuh.


Minggu, 11 November 2007, beberapa sepupu dan kenalan dari luar kota datang menjenguk. Mami senang sekali. Mungkin kunjungan dari keponakan-keponakannya membuat mami capek karena banyak bicara dengan nafas yang masih belum stabil dan kurang istirahat. Malam kira-kira pukul 19.00, terjadi bleeding lagi. Kami benar-benar lemas. Setelah kurang istirahat karena terus berjaga, masih lagi ditambah ketidakpastian kapan pendarahan yang dialami bisa berhenti.


Senin pagi, 12 November 2007, ketika masuk ke ICU, mami meminta saya pulang ke Yogya untuk menengok anak-anak yang sudah saya tinggal seminggu lebih. Antara ingin pulang ke Yogya dan terus mendampingi mami membuat saya bingung. Tapi saya yakin takkan terjadi apa-apa. Dan, jika saya menuruti kata-katanya, mami pasti senang dan tak akan menambah beban pikirannya. Mami memang luar biasa. Di tengah berjuang melawan rasa sakit, bosan di ruang ICU dan ketidakpastian kapan sembuh, beliau masih bisa memikirkan orang lain. Luar biasa!


Dengan Kereta Api, saya berangkat pukul 15.00. Tiba di Yogya pukul 20.05.


Belum 24 jam di Yogya, Selasa subuh, 13 November 2007, pukul 02.30 kakak saya menelepon mengatakan mami kejang-kejang. Hati ini rasanya hilang. Sementara itu, kedua anak saya mengalami demam sudah beberapa hari. Ada kekhawatiran anak-anak terserang DB karena perubahan cuaca. Saya juga masih harus menyelesaikan pekerjaan dan memberesi tagihan credit card, telepon, dan listrik.


Pagi itu, kakak saya memberitahu, dokter spesialis darah menyarankan mami untuk diberi suntikan Kybernin sebanyak 3 ampul @ Rp 3.500.000,00 (tiga setengah juta!), total Rp 10.500.000,00!!! dengan harapan darah bisa mengental supaya trombosit bisa naik (normal).


Menurut perawat, suntikan ini amat sangat jarang digunakan. Dokter utama yang merawat mami sebenarnya tidak begitu merekomendasi, namun dokter spesialis darah dengan diplomatis mengatakan: “saya sudah memberikan advis medis terbaik, jika keluarga menolak dan terjadi hal-hal yang tak diinginkan, mohon tidak menyalahkan saya”.


Sungguh pernyataan yang sangat aneh di balik pemberian advis tersebut. Ada apa di balik itu?


13 November 2007, tengah malam saya berangkat lagi ke Surabaya setelah hasil tes darah anak saya menunjukkan tidak ada hal yang perlu dikhawatirkan.


14 November 2007, saya melihat mami masih tergolek lemah dengan mata terpejam seperti tanggal 5 – 6 November 2007. Namun, siangnya, mata mami sudah terbuka dan bisa menjawab pertanyaan. Thank God. Berarti ini ada kemajuan.


15 November 2007, sore. Dokter spesialis darah kembali menyarankan suntik Kybernin lagi! That’s bullshit! Saya langsung menolak. Semua kan ada prosesnya? Baru 2 hari yang lalu suntik, koq suntik lagi? Saya katakan pada kakak saya, dokter ini cuma sales obat saja! Bayangkan, kalau dia mendapat 10% dari setiap transaksi, dalam 3 hari dia sudah mendapatkan uang dari perusahaan farmasi sebesar Rp 2,1 juta!!! sementara pasien hanya bisa pasrah dan harus mengeluarkan uang. Padahal, pada suntikan pertama itu, dokter hanya menitipkan pesan lewat perawat, tidak bertemu keluarga secara langsung. Dan, belum terjadi konfirmasi dengan dokter utama.


Mengapa sih, ada dokter yang orientasinya bukan pasien-minded tapi kantong sendiri-minded?


16 November 2007, kondisi mami menunjukkan kemajuan. Dia sudah bisa bergurau sambil sesekali mengatakan bosan berada di ruang ICU. Kedatangan dokter kepala ICU dari luar negeri yang mengganti obat-obat yang diberikan kepada mami bisa jadi menjadi pemicunya. Kami bersyukur karena ada kemajuan yang berarti.

Saya pamit pada mami untuk pulang ke Yogya dan beliau setuju.

Sorenya, dengan kereta, saya pulang ke Yogya.


Hari-hari selanjutnya, sampai hari ini (20 November 2007), berita baik selalu saya dengar. Kemajuan yang terjadi secara perlahan tentu melegakan kami meskipun kami masih harus terus memberikan dukungan spiritual agar kesembuhan ini bisa terjadi. Kami yakin, kemajuan positif ini bisa terjadi karena kehendak Tuhan dan juga campur tangan dokter yang ahli dan cekatan serta memiliki niat yang baik. Juga, dukungan doa dari siapa pun: saudara-saudara, sanak famili dan teman-teman semua.


Selama ini kita sering melihat logo ‘S’ yang tertera di dada tokoh fiktif Superman. Buat saya, logo ‘S’ ini merupakan singkatan dari SuperMom. Mami terus semangat berjuang melawan sakitnya tanpa pernah menyerah.


Terima kasih atas dukungannya. Hanya Tuhan yang bisa membalas. Saat ini, kami masih membutuhkan dukungan spiritual dari semua pihak untuk kesembuhan mami.

 

 

nb: mohon maaf bagi teman2 yg kirim sms dan belum sempat saya balas. kehidupan saya jadi "abnormal" selama nungguin mami di ICU

 

Tuesday, November 13, 2007

Siapa Yang Tahan Godaannya???

 

Stress karena tidak berada di tempat dan suasana yang biasa, saya mencoba telepon teman-teman yang tinggal di Surabaya dan teman-teman mp yang saya kenal baik dan saya tau nomor teleponnya untuk curhat. Ketika menelepon salah satu teman mp, tak diangkat. Saya bisa memaklumi karena mungkin dia sedang sibuk (apa iya seh?). Saya tetap berpikir positif.

Besoknya, teman yang saya telepon mengirim SMS yang berbunyi:

“msh di darmo (RS – red). Rabu kamis mami udah baik tp kmrn pg bleeding. Sore ini sdh mendingan & tdr nyenyak stlah kmrn seharian & td siang muntah terus. Doakan ya. Tq”

Dijawab:

“Mugo2 ndang waras yo. Nuwun sewu during iso rono. Maagku seminggu iki yo gak beres” (terjemahan: Moga-moga cepat sembuh. Maaf belum bisa kesana. Maagku seminggu ini juga gak beres)”

Saya menjawab:

“Santai aja. No worries. Hr ini lbh baik. Awakmu ojok ngoyoh….” (terjemahan: Santai aja. Gak perlu repot. Kamu jangan terlalu memaksakan diri”


Kemudian SMS dijawab lagi:

“Iyo. Goro2 kecentok sambel grg” (terjemahan: Iya. Gara-gara makan sambel goreng)


Saya lanjut lagi: “Pancen kuliner mempesona… Siapa yg tahan godaannya???”


Ha…ha…ha… kayak iklan aja ya? Titi Kamal = sambel goreng???