Saturday, January 31, 2009

Dihubungi Tim Sukses Caleg


Selesai mengurus nomor XL saya yang hilang bersama sang hape pemberian murid saya dulu, ringtone di hape yang bersuara Butet Kartaredjasa menirukan salah satu mantan presiden Indonesia berbunyi. Itu tandanya, nomor yang menelepon belum saya save.

Penelepon memperkenalkan diri. Ternyata orang dalam juga, karena dia anaknya pegawai kampus. Doi menjelaskan tujuannya menelepon saya. Beliau diutus salah satu caleg partainya ibu untuk ikut mendukung sang caleg untuk pencalonan menjadi anggota DPRD Provinsi, setelah masa bakti sebagai anggota legislatif DPRD Kabupaten segera berakhir.

Mengapa harus saya? Katanya, saya punya jaringan yang kuat dengan alumni (bangga.com)  . Sang caleg memang dulu adik kelas saya di kampus. Anaknya dosen saya pula!

So what geto lho?

Sang tim sukses mengatakan ingin menemui saya untuk pembicaraan lebih lanjut. Tapi, saya langsung cut saja.

Singo: "Maaf ya mas, daripada kita menghabiskan waktu, mending saya ngomong terus terang saja. Gak usahlah menyangkutkan saya ke masalah beginian. Saya apolitik. Wegah berurusan dengan politik di Indonesia."
Tim Sukses: "Ok deh."

Saya memang apolitik. Jadi, meskipun yang jadi caleg itu adk kelas saya, yo ben toh? Emangnya kalo sudah jadi caleg, masih ingat saya? Kemungkinan besar ya TIDAK. Dia yang enak, dapet gaji buta, tapi lupa pada kita!

Capek deh......


nb: cerita tentang warna-warni menjelang pemilu akan berlanjut dengan cerita yang lain.


Wednesday, January 21, 2009

Semoga Kita Seperti Mereka




Barrack Hussein Obama telah resmi menjadi presiden Amerika Serikat ke-44.

Untunglah seorang teman menulis statusnya di YM dengan kalimat "Lagi nonton Obama". Saya pikir, saya sudah tak mendapat kesempatan nonton acara inagurasi presiden itu karena sekarang saya memang hampir tak pernah nonton TV karena dipenuhi sinetron yang seperti film kartun, tidak mendidik, mengajari orang menjadi jahat dan sederet efek negatif yang lain.

Melihat persiapan pelantikan Presiden Barrak Obama sungguh membuat hati ini iri. Semua mantan presiden negara adikuasa tersebut (yang masih hidup), hadir, entah dari partai yang sama, atau partai berbeda. Mantan rival politik dalam mencapai gedung putih (apa sekarang masih disebut gedung putih ya?  ) pun memperlihatkan sportivitas yang tinggi demi sebuah cita-cita negaranya.

Pengucapan sumpah yang terkesan tidak sakral tapi "cool" dan jauh dari formalitas protokoler (sambil senyum-senyum dan ada kesalahan yang manusiawi) membuat saya semakin terpesona dengan acara ini. Meskipun sudah ngantuk, saya memaksa mata saya untuk tetap siaga.

Semua stasiun televisi Indonesia menyiarkan detik-detik bersejarah bagi bangsa Amerika yang memiliki presiden baru berkulit hitam - sebuah kedewasaan yang entah kapan kita miliki.

Tapi, baru saja saya berharap, kenyamanan saya sudah terganggu oleh banyaknya iklan bersliweran di semua stasiun televisi itu. Rasanya tak rela menyaksikan peristiwa bersejarah itu diganggu oleh iklan yang bagi stasiun televisi adalah tambang uang, demi kenikmatan stasiun itu sendiri, bukan demi penonton (pelanggan).

Kenyamanan lain yang mengganggu adalah komentar para komentator di beberapa stasiun televisi. Namanya komentator, selalu saja ada yang dianggap cacat. Heran, kenapa sih, selalu memberi komentar negatif? Yang tidak yakin dengan perubahan lah, yang mengatakan tak mungkin lepas dari cengkeraman kaum zionis lah.

Mengapa? Mengapa kita selalu berpikir negatif? Bukankah alam pikiran kita memiliki kekuatan dahsyat untuk membuat apa yang kita pikirkan bisa terjadi?

Saya benar-benar iri melihat kedewasaan mereka. Kehadiran mantan-mantan presiden negara tersebut & mantan-mantan lawan politik sang presiden terpilih mengingatkan saya pada peristiwa di negara tercinta yang sungguh berbeda jauh.

Mantan presiden dengan gampangnya dan enaknya mengabaikan undangan Presiden untuk menghadiri acara sakral seperti Proklamasi Kemerdekaan Negara Republik Indonesia. Seribu alasan dibuat. Kalau sudah begini, perubahan apa yang bisa kita harapkan? Bukankah rakyat selalu mencontoh tingkah laku pemimpinnya?

Iri hati saya bertambah melihat begitu khidmatnya rakyatnya menyimak pidato pertama sang presiden terpilih. Meksipun sang Presiden masih tergolong muda, rakyat yang berusia lebih tua dari sang Presiden pun menyimak kata-kata sang Presiden yang sangat motivatif itu dengan penuh perhatian. Bandingkan dengan negara kita, yang selalu mencela apa yang disampaikan pemimpinnya. Selalu ada alasan untuk mencari pembenaran.

Saya benar-benar iri melihat kedewasaan mereka. Tapi, saya hanya bisa berharap, semoga kita (segera) seperti mereka, tanpa harus beralasan "negara kita baru berusia 63 tahun, sedangkan mereka sudah 2 abad"


Monday, January 5, 2009

Kebohongan Cepat Atau Lambat Pasti Akan Ketahuan (bagian lain)


Tulisan ini menyambung cerita mbak Kiki di sini.

Ceritanya, pengasuh anak kami yang berumur 3 tahun berhenti kerja. Tuti, nama sang pengasuh anak itu, adalah pengganti temannya yang dulu bekerja dengan kami berhenti karena menikah (Sungguh).

Tuti ini nampak soleh. Menggunakan jilbab dan sholat 5 waktu.
Minggu-minggu pertama bekerja, istri saya sudah bingung. Lha masak hati + rempelo goreng, kita belon makan koq sudah ilang? Karena tak bisa membuktikan, ya kami tidak bisa menuduh.

Waktu terus berjalan. Setahun lebih dia bekerja dengan kami. Beberapa bulan terakhir bekerja, dia sering pulang dengan alasan ibunya masuk rumah sakit. Untuk alasan kemanusiaan, kami tak bisa menghalangi dia pulang. Prinsip kami, kalau toh berbohong, dosa urusan dia dengan Gusti Allah.

Beberapa bulan terakhir, pacarnya sering datang. Klo datang, tak kenal waktu. Maka, saya pun membuat aturan, menerima tamu pada saat anak sudah tidur siang ( jam 12 - 15).

Selepas lebaran, pacarnya datang. Jam 8.30 sudah datang. Saya pun mengingatkan dan mengatakan, maaf, kalau ketemu sebentar saja karena kerjaan kamu belon selesai. Ucapan saya tak dihiraukan. Sampai jam 12 belon pulang juga. Rencana saya mengerjakan hal lain terbengkelai karena saya harus menemani anak saya.

Saking naik pitamnya, saya berteriak  : "Tamumu suruh pulang saja. Saya yang ngusir atau kamu yang bilang ke dia?" Pacarnya termasuk kelompok tidak sopan. Kalau bertamu, tak pernah unggah-ungguh dengan kami.

Pada Idul Adha kemarin, dia mengatakan mau pulang minggu pagi karena bapaknya tiba-tiba sakit keras. Dia berjanji pulang hari Senin, tgl 8 (pas Idul Adha). Ternyata, hari senin pagi dia mengirim sms ke istri saya dan mengatakan tak bisa balik karena "BAPAK MENINGGAL DUNIA"

Hari Selasa, dia datang bersama kakaknya dan mengatakan tak bisa melanjutkan kerja karena harus menjaga ibunya di rumah yang sakit, sementara kakaknya juga harus bekerja. Tentu saja, kami meminta dia mencarikan pengganti terlebih dahulu.

Kami menghubungi Sungguh dan menceritakan apa yang terjadi serta minta tolong untuk dicarikan pengganti. Ternyata, Sunguh malah kaget ketika istri saya mengatakan bahwa Tuti itu berhenti karena Bapaknya meninggal dunia.

Dia mengatakan pada istri saya, "Bu, Bapaknya Tuti tidak meninggal koq. Ibunya juga gak sakit"

WHAT???

Jadi selama ini, si Tuti berbohong dan menggunakan alasan orangtuanya?
Ini lebih parah dari mantan calon pengontrak rumah yang dititipkan kepada mbak Kiki!

Menggunakan alasan orang tua sakit dan meninggal untuk kepentingan pribadi???


Ya sudahlah. Kami juga gak mau anak kami diasuh Tuti. Takut ketularan gak beres. Kami sudah ikhlas dia berhenti.

Malah, kami punya lelucon begini:
Si Tuti punya bapak seorang malaikat. Sudah meninggal, bisa hidup lagi. Dalam agama Nasrani, dia setingkat dengan Yesus. Mati dan bangkit lagi!


catatan:
1. Judul blog = punya mbak Kiki karena memang lagi gak kreatip.
2. Tuti = Tukang Tipu