Monday, May 4, 2009

Hadiah Terindah


 
Kecupan anak istri ketika membuka mata mengawali hari di saat hari lahir adalah hadiah ulang tahun yang indah buat saya. Cinta dan kasih sayang yang mereka berikan menjadi tanda kehidupan baru.




Hadiah apa lagi yang indah? Saya bertemu Dyah Kutut malam harinya, meminta tanda tangan pada cover album kasetnya dan berfoto bersamanya. Ini juga hadiah istimewa untuk melengkapi koleksi tanda tangan artis di koleksi yang saya miliki.



Hadiah apa yang paling bernilai pada hari jadi saya tahun ini? Siang ini, ada paket. Setelah saya buka, isinya sebuah CD. CD Evolusi karya Yockie Suryo Prayogo & Susilo Bambang Yudhoyono. Sebuah mahakarya, karena dihasilkan oleh orang yang mumpuni di bidang musik dan seorang Presiden yang masih aktif memimpin negara.

Itu sajak
ah? Tidak! Tanda tangan yang membubuhi cover album CD itulah yang membuatnya sangat istimewa dan nilainya luar biasa. Tak bisa diukur dengan materi. Cover CD itu ditandatangani oleh sang maestro, Yockie Suryo Prayogo dan sang Presiden, Susilo Bambang Yudhoyono.


Inilah koleksi kaset saya yang paling berharga saat ini, mengalahkan koleksi yang lain!

Terima kasih pada mas Yockie yang tak terhingga. Terlambat datang tak apa-apa, karena kado memang diterima sampai ulang tahun berikutnya.

Friday, May 1, 2009

Bayi Yang Tak Berdosa Itu


Selesai mengajar, matahari masih menunjukkan kekuatannya menyinari bumi. Kendaraan yang saya tumpangi menuntun saya pergi ke penjual kaset bekas. Ada dua tempat yang akan saya kunjungi. Ke pasar loak Kuncen atau ke Ngejaman terlebih dahulu?

Akhirnya, motor saya menggerakkan tangan saya untuk ke pasar lebih dahulu. Baru setelah itu saya ke lokasi yang lain. Setibanya di lokasi itu, matahari mulai menguap dan menunjukkan kantuknya. Cahaya matahari yang kuat telah berganti remang-remang.

Setelah memilih beberapa kaset, saya terhenyak mendengar beberapa pedagang di sekitar penjual kaset itu saling bersahutan ingin melihat bayi yang dibuang ibunya di kantor pasar Beringharjo. Hati saya ikut tergerak menuju ke sana.

Orang-orang berdesakan mengintip dari jendela kantor pasar. Ketika mendapat kesempatan berada di urutan terdepan, saya memotret dengan kamera telepon seluler yang minimal. Saya ingat, saya membawa kamera. Jendela ditutup dan saya melangkah mundur untuk maju ke ruang kantor pasar itu.

Di kantor itu sudah ada pak polisi dari polsek terdekat. Pintu masuk ke kantor dijaga beberapa petugas keamanan pasar. Dengan jaket yang saya pakai, tas yang ada di pundak serta kamera yang ada di tangan, petugas keamanan pasar mengira saya seorang wartawan dan saya dipersilahkan masuk.

Dari dekat, saya menyaksikan seorang ibu muda menggendong bayi yang berumur 2 hari. Sang bayi yang belum bisa membuka matanya merasakan kehangatan pelukan wanita yang bukan ibunya sambil minum susu dari botol dengan rakusnya. Pak polisi menanyai ibu yang menggendong bayi itu. Maka berceritalah sang ibu muda itu.

“Saya penjual pakaian, berusia 30. Ada seorang wanita kira-kira berusia 25 tahun berkulit kuning langsat, memakai jilbab, datang ke tempat jualan saya. Dia menawar beberapa pakaian. Wanita itu membeli beberapa pakaian dan sudah dimasukkan tas kresek. Sebelum membayar belanjaannya, sang wanita itu menitipkan anaknya pada saya. Dia mau ke toilet, katanya. Setelah saya tunggu agak lama, ternyata wanita itu tidak muncul. Saya merasa, wanita itu memang sengaja meninggalkan anaknya pada saya. Di tas sang ibu anak itu, masih terdapat beberapa perban persalinan. Kemungkinan anak ini baru berusia 2 hari.”

Ketika beberapa orang di kantor itu menanyakan kelanjutannya, bagaimana nasib bayi itu, apakah wanita itu bersedia mengasuhnya, penjual pakaian itu melanjutkan,

“Anak saya sudah tiga. Kalau anak ini harus saya asuh, saya tidak keberatan.”

Saya tak tau apakah wanita penjual baju itu mengatakan bersedia mengasuh bayi tak berdosa itu karena iba atau karena emosional karena tidak bisa berpikir memikirkan nasib bayi tak berdosa itu.

Saya tak ingin banyak bertanya karena saya tak sedang membuat berita. Saya bukan wartawan. Lebih baik saya tutup mulut saja daripada nanti orang-orang di kantor itu mengetahui saya bukan wartawan, dan saya mendapat gebukan karena dikira berbohong. Saya tidak berbohong karena saya sejak awal tidak mengatakan saya wartawan. Mereka yang salah menafsirkan saya. Saya bersedia masuk, memotret, dan mendengarkan perbincangan mereka untuk mendapat sedikit data, karena hati saya tergerak untuk mengabarkan betapa malang nasib seorang bayi yang tak tau apa salahnya tapi harus menanggung dosa, tidak mengetahui asal-usulnya.

Seharusnya, hari ini saya bahagia karena hendak makan malam bersama keluarga atas usia yang ke-42. Jika benar bayi itu berusia 2 hari, hari lahir saya ternoda karena ada seorang wanita yang begitu tega membuang anaknya (apa pun alasannya). Anyway, Saya harus tetap bahagia karena saya bisa membagikan cerita pada teman-teman saya.

Hari ini kita belajar (kata-kata yang selalu ada dalam acara reality show Helmy Yahya) dari dua orang wanita. Yang satu tega membuang anaknya. Yang satu merasa mendapat anugrah atas bayi yang ditinggalkan ibunya. Anda yang menentukan, mau belajar pada siapa.