Saturday, January 2, 2010

Monopoli artinya Sesuka Sendiri


Pernahkah Anda melihat iklan ini? Sekilas iklan ini nampak menarik karena seolah-olah kita bisa mengelola keuangan kita lebih baik karena adanya fixed cost untuk pengeluaran kita. Tapi, benarkah begitu?

Awalnya, saya memang tertarik dan hendak mengambil paket TANPA ABONEMEN. Di bulan November 2009, saya dihubungi oleh CS TELKOM yang mengatakan bahwa saya mendapatkan paket gratis 100 menit setiap bulannya. Siapa yang tak mau dikasih gratis? Saya mengiyakan saja. Namanya juga gratis.

Bulan Desember 2009, ketika membayar tagihan telepon, saya kaget karena di print out tercetak Biaya Tagihan Tetap sebesar Rp 65.000,00. Ditambah PPN 10%, total tagihan adalah Rp 71.500,00. Ini tak seperti biasanya karena rata-rata pemakaian bulanan telepon rumah saya hanya sekitar Rp 50.000,00an. So, darimana koq bisa lebih mahal?

Akhirnya, saya ke CS saja untuk minta penjelasan. Tarik ke belakang, saya ingat saya pernah ditawari gratisan itu. Ternyata, gratisan yang ditawarkan itu adalah Paket Tagihan Tetap seperti di iklan itu. Lho, saya kan gak pernah ditawari paket itu secara ekspisit? Saya ditawari gratis 100 menit bicara setiap bulannya.

Paket Tagihan Tetap seperti diterangkan CS di kantor TELKOM adalah, membayar Rp 65.000,00 dengan fasilitas gratis bicara ke nomor TELKOM (fixed line dan flexi, tidak termasuk ke seluler) selama 100 menit, pukul 23:01 – 06:00 dan 15 menit pada pukul 06:01 – 23:00. So apa istimewanya? Gratisan 100 menit pada saat orang pada tidur, tak melakukan pembicaraan. 15 menit pada jam produktif, cuman ngomong apa?

Saya tertarik paket TANPA ABONEMEN. Ini untuk mengurangi beban biaya abonemen sebesar Rp 28.700,00 karena rata-rata pemakaian per bulan Cuma Rp 10.000,00. Apa yang ada di paket TANPA ABONEMEN ini? TANPA ABONEMEN artinya, membayar Rp 65.000,00 dengan fasilitas gratis SLJJ 20, lokal 100 menit pada pukul 23:01 – 06:00 dan 15 menit pada pukul 06:01 – 23:00.

Lho, apa bedanya?

Kalau saja perusahaan telepon fixed line di negara ini tak dimonopoli oleh TELKOM, saya tak akan pernah menggunakan jasanya. Monopoli menciptakan sikap semaunya sendiri.

So, jangan mudah tergiur oleh iklan seperti ini. Kata Bang Napi: “Waspadalah….Waspadalah!”

Friday, January 1, 2010

Gus Dur (catatan seorang mantan wartawan)


Pagi ini begitu mengejutkan. Saat membuka e-mail, sederetan ucapan memilukan yang terbaca.


"Subyek: Kenangan Manis Gus Dur" bermunculan tanpa henti. Gus Dur atau Abdurrahman Wahid, Presiden RI ke-4 itu telah dipanggil Tuhan. Saya lemas dan sedih membaca kiriman2 e-mail itu.

Setelah sakit sekian lama, tokoh moderat itu pada akhirnya kembali ke haribaan-Nya. Tentu secara pribadi saya sangat sedih. Bagi saya Gus Dur adalah Guru. Takkan pernah saya lupa betapa Gus Dur membimbing saya. Sejak masih wartawan ingusan hingga saat ini. Ketika beliau masih tinggal di Jagakarsa, hampir tiap malam kami berdiskusi.

Dalam salah satu pertemuan, sampailah kami pada satu kesimpulan yang "sedikit" terbalik. Gus Dur dengan penuh keyakinan mengatakan bahwa pola pikir saya adalah Islam dengan I dalam huruf besar. "Sampeyan itu Islam, mBak," kata Gus Dur. "Nah, Islam yang bener itu ya kaya sampeyan itu," begitu beliau meyakinkan saya waktu itu.

Sebaliknya saya pun ngeyel dan mengatakan, "Tidak, Cak. Pola pikir sampeyen itu yang Kristen. Jadi sampeyan sebenarnya orang Kristen yang bergelar Kiai." Dan kami pun tertawa tergelak-gelak.

Keakraban itu kami bawa sampai Gus Dur pada akhirnya menjadi Presiden RI yang ke-4. Beliau adalah satu-satunya Presiden yang tidak berkenan saya panggil dengan sebutan "Presiden". "Sampeyan ndak usah manggil saya Presiden, mBak," katanya. "La terus aku kudu piye?" jawab saya. "Cak, yo, Cak ae," begitu jawab beliau. Sangat ringan dan santai. Alhasil terpaksalah saya menyebut beliau "Cak Presiden"

Dan, sebelum kenangan manis sekaligus memilukan itu pudar dari ingatan dan hati saya, kembali sore ini saya dikejutkan dengan berita kesedihan lain. "Bapak Frans Seda telah berpulang... "

Kawan, mari kita meluangkan waktu sejenak untuk memanjatkan doa bagi dua tokoh besar bangsa ini. Semoga kepergian mereka menjadi pembuka jalan yang lebih baik bagi Indonesia tercinta. Amin.


Catatan:
Tulisan ini adalah catatan teman saya, seorang mantan wartawan, yang sekarang tinggal di negeri nan jauh. Dia tak memiliki akun multiply. Catatan ini disampaikan via milis dimana kita bergabung dan sudah mendapat persetujuan untuk diposting di sini.

foto di ambil dari sini