Saya mengenal Bu Hajjah Wakidi sejak 1985. Waktu itu baru mulai pertama kuliah di Yogya. Sehabis latihan basket malam hari kira-kira pukul 7 atau 8 malam, seorang teman mengajak makan di sana. Waktu itu, Bu Haji (begitu biasanya saya memanggil beliau) berjualan di jalan Mangkubumi, tepatnya di depan Restoran Rama (sekarang sudah tutup). Kira-kira 100 selatan Tugu.
Makan di pinggir jalan, dengan pincuk (daun pisang), nasi yang panas plus gudeg serta segelas kecil teh tawar. Nasinya, wow…. banyak banget! Untuk ukuran anak kost, bikin kenyang! Tentu saja, tak bisa sering-sering kesana.
Tahun 1990an, ketika sudah mulai bekerja, kadang-kadang saya masih kesana. Kala itu, saya kesana petang hari (magrib). Pembeli sudah pada antri dan jika terlambat (di atas jam 6 sore), tak ada lagi menu gudeg. Laris manissssssssssssss. Kebiasaan ini berlanjut sampai tahun 2000an. Bu Haji mulai berjualan jam 4.30 atau jam 5 dan jam 6 atau 6.30 dagangannya sudah habis. Volume penjualan dikurangi karena sudah berhaji. “Dulu volume penjualan banyak karena ingin menabung untuk naik haji,” begitu kisah bu Haji.
Ketika jalan Mangkubumi mulai dipergunakan untuk “klithikan” (pasar loak tiban) dimana para penjualnya sebagian adalah orang-orang muda, bu Haji “diusir” oleh para pedagang itu. Mereka berujar, “Bu, gantian donk yang jualan. Ibu kan sudah tua, jadi sekarang waktunya kami yang berjualan” Begitu kata Bu Haji ketika saya tanya mengapa tak lagi berjualan di jalan Mangkubumi. Bu Haji tak lagi berjualan di jalan Mangkubumi 5 tahun terakhir ini.
Berjualan di rumah bukan berarti rejeki tak datang lagi. Dengan suami yang selalu menemani dengan setia, Bu Haji melayani pelanggan tetapnya di rumah sambil menjaga bapak yang sudah terkena diabet dan menjadi pelanggan suntikan insulin.
Sekarang ini, bu Haji memulai jualannya sejak jam 10 pagi. Biasanya, jam 2 siang sudah habis karena, para pelanggan setianya biasanya sudah memesan gudeg dan diambil sekitar jam 10 sampai jam 12. Gudeng Bu Haji biasanya dibeli untuk dikonsumsi rakyat lokal Yogya atau sebagai oleh-oleh untuk dibawa keluar kota.
Gudeg dengan ‘genre’ basah ini bisa bertahan 24 jam asal kuah areh dan krecek diperlakukan dengan benar (dimasukkan plastik dalam keadaan sudah dingin). Sebagai informasi, harga yang dipatok oleh Bu Haji, buat saya, tidaklah terlalu mahal. Biasanya, nasi gudeg dan sepotong paha bawah berharga sekitar Rp 8.000,00. Jika membeli dibawa pulang dengan 2 potong ayam (dada, paha atas), 4 butir telor, 4 potong tahu, harga berkisar Rp 35.000,00 – Rp 40.000,00 (saya lupa persisnya). Buat saya, harga itu sangatlah masuk akal.
Jadi, kalau mau membeli, saran saya, pergilah ke rumah Bu Haji pada hari sebelum membeli atau pagi hari. Jika pada pagi hari sudah siap, bisa langsung dibawa pulang. Jika tidak, kembali ke rumah Bu Haji pada siang hari. Jangan lupa, catat pesanan dan langsung bayar karena banyak “tangan-tangan setan” yang tak segan mengambil pesanan orang lain. Bu Haji kadang tak mampu menolak permintaan pembeli. Kadang juga karena lupa kalau sudah dipesan karena saking banyaknya pelanggan yang datang kesana. Paling tidak, itu pernah terjadi pada saya. Pesanan saya (belum saya bayar), dibeli orang dan bu Haji lupa kalau sudah dipesan. Bu Haji cuman bisa bilang, “Nyuwun ngapuro” (minta maaf). Apa yang bisa saya lakukan? Pulang dengan rasa kecewa. Gak jadi menikmati gudeg Bu Haji yang buat saya paling enak di seantero Yogya.
Bagaimana Mr Mak Nyus (Bondan@wisata Kuliner Trans TV)?