Jalan Keaktoran Butet Kartaredjasa....
Banyak jalan menuju Roma. Banyak jalan mencapai kebaikan. Ketika agama terlalu dogmatis dan kehilangan ruang bagi penafsiran yang berbeda dan karenanya cenderung makin intoleransi, maka agama sebenarnya telah meninggalkan ruang jiwa manusia. Setidaknya, itulah yang diyakini Butet Kartaredjasa, seseorang yang seperti ditakdirkan untuk meragukan setiap keyakinan absolut yang berlebihan, termasuk kepada agama – dan sebagaimana nanti bisa Anda ketahui, juga pada dunia teater yang dicintainya.
Setiap manusia akan menemukan jalan kebahagiaannya sendiri-sendiri, dan itu adalah proses menjadi manusia. Itulah kesamaan yang dirasakan Butet ketika ia mulai berproses dalam dunia teater. “Proses berteater adalah proses menemukan keyakinan, juga kebahagiaan,” kata Butet yang sejak masa belia memang sudah menjeburkan diri ke dunia teater bersama Teater Kita-kita, Teater Dinasti, Teater Gandrik, dan kemudian setelah ngetop markotop juga rela berpeluh-peluh mengikuti proses produksi pertunjukan. Semua itu, menurut Butet, ia jalani sebagai pilihan untuk terus berproses menemukan apa yang diyakini sebagai “jalan kebahagiaan”. Mungkin seperti Musashi yang menempuh “jalan pedang”, Butet menempuh “jalan keaktoran” untuk mematangkan jiwanya. Karena itulah, proses berteater, yakni proses ketika menjalani darma keaktorannya, selalu Butet upayakan sebagai peningkatan kualitas kemanusiaannya. Main teater bukan berujung pada panggung, tetapi pada hidup.
Maka, teater dengan segala tetek bengeknya, tak boleh mengalahkan hidup. “Karna itulah dalam berteater, kita tak boleh mengorbankan hidup,” tegasnya. “Teater telah mengajarkan saya, bawa kita hanyalah bagian dari hidup, bagian dari orang lain. Seorang aktor tak pernah hidup sendirian.”
Ia memahami hal itu, barangkali, karena ia tak memelajari teater secara formal. Studi formal yang ditempuhnya justru di bidang seni rupa, yang sempat dienyamnya hingga drop out Fakultas Seni Rupa dan Desain, Institut Seni Indonesia Yogyakarta. Sekolah teaternya adalah kehidupan. Dan kehidupan selalu memberinya kesadaran, bahwa sebagai individu, ia hanyalah menjadi bagian dari tata nilai yang lebih besar. Menurutnya, tanggungjawab seorang aktor, sesungguhnya bersikap kritis terhadap tata nilai yang lebih besar itu, terutama ketika tata nilai itu dirasakan makin hegemonik, menekan dan menutup ruang dialog. “Saya bisa merasakan kebahagiaan, apabila sebagai aktor, saya bisa menyurakan keberagaman suara-suara agar tercipta suasana kehidupan yang lebih dialogis,” kata aktor kelahiran Yogyakarta 21 November 1961 ini.
Dalam kultur yang dialogis itu, toleransi bisa dibangun, kerendahatian bisa menjadi keindahan pergaulan. Dan semua itu ditemukan Butet dalam proses berteaternya. “Ketika kita ingin mementaskan sebuah lakon, sesungguhnya kita tengah menggagas sebuah cita-cita. Sedang memperjuangkan gagasan. Secata internal, gagasan itu mesti bertarung dalam suasana yang demokratis, agar ketika ia telah menjadi kenyataan eksternal pertunjukan, gagasan itu pun bisa bersikap demokratis terhadap gagasan lainnya. Karena tak ada yang absolut!” tegas Butet. Makanya ia pun berpendapat, dunia teater pun bukanlah hal yang paling benar dalam hidupnya. “Saya mencintai teater, tetapi tidak mendewakannya.”
Itulah yang ia hayati ketika sejak dini ia mulai merasakan semacam keyakinan: bahwa menjadi aktor berarti juga menjadi manusia. Jalan untuk mencapai keaktoran adalah jalan yang dipilih oleh seseorang untuk menemukan kualitas kemanusiaannya. Sejak ia terpilih sebagai Aktor Terbaik di Festival Teater SLTA se DIY tahun 1979 dan 1981 (yang menobatkannya juga sebagai Sutradara Terbaik), hingga ia bermain di semua lakon Teater Gandrik, di Teater Koma, Teater Mandiri, dan main monolog untuk pertama kali membawakan naskah Racun Tembakau tahun 1986, dan kemudian dikutuk menjadi “Raja Monolog” setelah memainkan monolog Lidah Pingsan (1997), Lidah (Masih) Pingsan (1998), Mayat Terhormat (2001), Matinya Toekang Kritik (2006), -- Butet menghayati semua itu sebagai proses untuk menemukan kualitas kemanusiaannya itu.
“Barangkali, dalam proses itu saya gagal. Tetapi sebuah proses adalah proses “menjadi”, bukan sesuatu yang final atau selesai,” kata peraih penghargaan Tokoh Seni versi PWI Yogya 1999 ini. Penghargaan itu, dan bermacam penghargaan lainnya, barangkali menjadi tanda bagi jalan keaktoran yang ditempuh Butet. Seperti ketika ia ikut main dalam film Petualangan Sherina, Banyu Biru, Maskot atau beberapa sinetron, maka itu adalah jalan yang selalu dihayati dan dinikmati dengan kesungguhan yang sama.
Ada orang yang bahagia dengan jalan melakukan korupsi, ujarnya bercanda. “Saya sebenarnya tergolong orang yang sederhana: saya sudah cukup bahagia bila bisa bermain teater. Menjalankan darma keaktoran saya. Tetapi saya tentu saja jauh akan lebih bahagia apabila republik ini lebih menghargai teater...” Kali ini ia tidak bercanda!
sumber: Butet Kartaredjasa
hadir.. :)
ReplyDeleteenaknya jadi seniman...kadang iri
ReplyDelete