Showing posts with label makangakmakankumpul. Show all posts
Showing posts with label makangakmakankumpul. Show all posts

Thursday, May 15, 2008

[kuliner] Sate Ayam Pak Pawiro






Saya menjadi pelanggan pak Pawiro tanpa sengaja dan tanpa rekomendasi dari siapa-siapa. Di sekitar tahun 1993, setelah selesai mengajar di Gondomanan (jalan Brigjen Katamso), saya harus melanjutkan mengajar ke jalan Bantul. Ini selalu terjadi sekitar pukul 18.30 – 19.00. Waktunya makan malam. Seminggu dua kali saya melewati jalan ini dan suatu ketika, mata saya melihat orang berjualan sate dan hidung saya yang tak mancung ini mencium aroma pembakaran daging ayam. Saya sangat sensitif terhadap aroma sate karena ini makanan favorit saya selain ayam goreng (to school).

Sekali mencoba langsung jatuh cinta! Seminggu dua kali selalu menikmati sate pak Pawiro. Setelah murid yang di jalan Bantul itu lulus SMA, saya tak lagi melewati jalan itu namun masih sesekali mengunjungi sate Pak Pawiro. Yang istimewa dari sate Pak Pawiro adalah bumbu kacangnya yang begitu sangat halus dan daging ayamnya adalah ayam kampung. Sejak sadar mudaratnya ayam negeri, saya amat sangat jarang sekali menikmati sate Madura yang biasanya menggunakan ayam “peranakan” itu. Selain teksture dagingnya yang tidak sekencang ayam kampung, sate ayam ekspor tidaklah terlalu baik untuk kesehatan. Menurut penjual sate ayam kampung yang lain (kapan-kapan akan saya upload di sini juga), sate ayam ekspor mestinya sudah bau jika dibiarkan dalam keadaan terbuka selama beberapa jam sejak dagingnya dipotong. Nyatanya, tidak. Berarti, pake obat donk?

Menurut cerita pak Pawiro, dia mulai berjualan sate sekitar tahun 70an dan waktu itu masih menggunakan pikulan. Target operasinya adalah para pedagang di Gondomanan. Tentu saja, orang berhak meningkatkan diri (upgrade tak hanya milik computer!) untuk tak lagi berjalan kaki mengedarkan dagangannya. Suatu saat, pelanggan lah yang mendatangi tempat jualan (counter). Mulailah pak Pawiro berjualan di Pasar Gading (jalan Mayjen Sutoyo), selatan Alun-alun Kidul Keraton Yogyakarta.

Dengan berjualan sate, pak Pawiro bisa menyekolahkan anaknya hingga tamat kuliah. Di tahun 90an itu, pak Pawiro berjualan ditemani istrinya. Ketika sekitar tahun 2000an saya ingin memanjakan lidah dan perut saya dengan menyantap sate Pak Pawiro, sang ibu tak lagi menemaninya. Ketika saya bertanya bagaimana kabarnya ibu, Pak Pawiro yang suaranya kecil (dulu waktu jualan keliling teriak gak ya?) hanya lirih berucap “Ibu sudah dipanggil Tuhan”.

Saat ini, pak Pawiro berjualan ditemani 2 orang anak laki-lakinya. Jam mulai operasionalnya adalah pukul 16.00. Jangan meniru saya di tahun 90an yang pergi kesana pukul 19. Saat ini, pukul 18 saja kadang pak Pawiro sudah berkemas hendak pulang karena dagangannya sudah habis! Harga satu porsinya, Rp 10.000,00 exclude lontong. Buat saya, ini adalah harga yang masuk akal mengingat harga ayam kampung yang memang tak semurah ayam import.

Ketika saya mengambil foto-foto ini, saya iseng bertanya, “Pak, sudah pernah dikunjungi mak nyusssssssssssssss (Bondan@wisata Kuliner Trans TV)?” Dijawabnya belum. Mudah-mudahan, suatu saat pak Pawiro dikunjungi mister Mak Nyusssss ini dan dagangannya makin laris sehingga beliau bisa pensiun menikmati hari tuanya dengan santai karena anaknya sudah siap mengambil alih tongkat estafet sate Pak Pawiro.

Jika keinginan saya tercapai, saya hanya bisa membayangkan Mr Mak Nyus ini makan sate Pak Pawiro sambil berujar, “Pemirsa, ini sate benar-benar mak nyussssssssssssssss”

Pesan saya pada pembaca, jika Anda memiliki akses ke Mr Mak Nyus, silahkan forward promosi ini. Saya yakin, seyakin-yakinnya, Mr Mak Nyus pasti terbuai oleh aroma dan rasa sate Pak Pawiro. Mak nyussssssssssssssssssssssssssss

[kuliner] Gudeg Bu Hajjah Wakidi





Saya mengenal Bu Hajjah Wakidi sejak 1985. Waktu itu baru mulai pertama kuliah di Yogya. Sehabis latihan basket malam hari kira-kira pukul 7 atau 8 malam, seorang teman mengajak makan di sana. Waktu itu, Bu Haji (begitu biasanya saya memanggil beliau) berjualan di jalan Mangkubumi, tepatnya di depan Restoran Rama (sekarang sudah tutup). Kira-kira 100 selatan Tugu.

Makan di pinggir jalan, dengan pincuk (daun pisang), nasi yang panas plus gudeg serta segelas kecil teh tawar. Nasinya, wow…. banyak banget! Untuk ukuran anak kost, bikin kenyang! Tentu saja, tak bisa sering-sering kesana.

Tahun 1990an, ketika sudah mulai bekerja, kadang-kadang saya masih kesana. Kala itu, saya kesana petang hari (magrib). Pembeli sudah pada antri dan jika terlambat (di atas jam 6 sore), tak ada lagi menu gudeg. Laris manissssssssssssss. Kebiasaan ini berlanjut sampai tahun 2000an. Bu Haji mulai berjualan jam 4.30 atau jam 5 dan jam 6 atau 6.30 dagangannya sudah habis. Volume penjualan dikurangi karena sudah berhaji. “Dulu volume penjualan banyak karena ingin menabung untuk naik haji,” begitu kisah bu Haji.

Ketika jalan Mangkubumi mulai dipergunakan untuk “klithikan” (pasar loak tiban) dimana para penjualnya sebagian adalah orang-orang muda, bu Haji “diusir” oleh para pedagang itu. Mereka berujar, “Bu, gantian donk yang jualan. Ibu kan sudah tua, jadi sekarang waktunya kami yang berjualan” Begitu kata Bu Haji ketika saya tanya mengapa tak lagi berjualan di jalan Mangkubumi. Bu Haji tak lagi berjualan di jalan Mangkubumi 5 tahun terakhir ini.

Berjualan di rumah bukan berarti rejeki tak datang lagi. Dengan suami yang selalu menemani dengan setia, Bu Haji melayani pelanggan tetapnya di rumah sambil menjaga bapak yang sudah terkena diabet dan menjadi pelanggan suntikan insulin.

Sekarang ini, bu Haji memulai jualannya sejak jam 10 pagi. Biasanya, jam 2 siang sudah habis karena, para pelanggan setianya biasanya sudah memesan gudeg dan diambil sekitar jam 10 sampai jam 12. Gudeng Bu Haji biasanya dibeli untuk dikonsumsi rakyat lokal Yogya atau sebagai oleh-oleh untuk dibawa keluar kota.

Gudeg dengan ‘genre’ basah ini bisa bertahan 24 jam asal kuah areh dan krecek diperlakukan dengan benar (dimasukkan plastik dalam keadaan sudah dingin). Sebagai informasi, harga yang dipatok oleh Bu Haji, buat saya, tidaklah terlalu mahal. Biasanya, nasi gudeg dan sepotong paha bawah berharga sekitar Rp 8.000,00. Jika membeli dibawa pulang dengan 2 potong ayam (dada, paha atas), 4 butir telor, 4 potong tahu, harga berkisar Rp 35.000,00 – Rp 40.000,00 (saya lupa persisnya). Buat saya, harga itu sangatlah masuk akal.

Jadi, kalau mau membeli, saran saya, pergilah ke rumah Bu Haji pada hari sebelum membeli atau pagi hari. Jika pada pagi hari sudah siap, bisa langsung dibawa pulang. Jika tidak, kembali ke rumah Bu Haji pada siang hari. Jangan lupa, catat pesanan dan langsung bayar karena banyak “tangan-tangan setan” yang tak segan mengambil pesanan orang lain. Bu Haji kadang tak mampu menolak permintaan pembeli. Kadang juga karena lupa kalau sudah dipesan karena saking banyaknya pelanggan yang datang kesana. Paling tidak, itu pernah terjadi pada saya. Pesanan saya (belum saya bayar), dibeli orang dan bu Haji lupa kalau sudah dipesan. Bu Haji cuman bisa bilang, “Nyuwun ngapuro” (minta maaf). Apa yang bisa saya lakukan? Pulang dengan rasa kecewa. Gak jadi menikmati gudeg Bu Haji yang buat saya paling enak di seantero Yogya.

Bagaimana Mr Mak Nyus (Bondan@wisata Kuliner Trans TV)?

Wednesday, January 9, 2008

Rawon Setan

Inilah jadwal buka Rawon Setan yang tersohor itu. Silahkan lihat di foto. Alamat jangan salah, karena pernah ke Rawon Endang, yang katanya cabangnya, di depan Ex Andhika Plaza. Makan berempat habis 100 rebu lebih. Sudah gitu, tak seenak yang Rawon Setan asli.

Detil keterangan, bisa tanya pada teman saya, mbak Wi