
Saya menjadi pelanggan pak Pawiro tanpa sengaja dan tanpa rekomendasi dari siapa-siapa. Di sekitar tahun 1993, setelah selesai mengajar di Gondomanan (jalan Brigjen Katamso), saya harus melanjutkan mengajar ke jalan Bantul. Ini selalu terjadi sekitar pukul 18.30 – 19.00. Waktunya makan malam. Seminggu dua kali saya melewati jalan ini dan suatu ketika, mata saya melihat orang berjualan sate dan hidung saya yang tak mancung ini mencium aroma pembakaran daging ayam. Saya sangat sensitif terhadap aroma sate karena ini makanan favorit saya selain ayam goreng (to school).
Sekali mencoba langsung jatuh cinta! Seminggu dua kali selalu menikmati sate pak Pawiro. Setelah murid yang di jalan Bantul itu lulus SMA, saya tak lagi melewati jalan itu namun masih sesekali mengunjungi sate Pak Pawiro. Yang istimewa dari sate Pak Pawiro adalah bumbu kacangnya yang begitu sangat halus dan daging ayamnya adalah ayam kampung. Sejak sadar mudaratnya ayam negeri, saya amat sangat jarang sekali menikmati sate Madura yang biasanya menggunakan ayam “peranakan” itu. Selain teksture dagingnya yang tidak sekencang ayam kampung, sate ayam ekspor tidaklah terlalu baik untuk kesehatan. Menurut penjual sate ayam kampung yang lain (kapan-kapan akan saya upload di sini juga), sate ayam ekspor mestinya sudah bau jika dibiarkan dalam keadaan terbuka selama beberapa jam sejak dagingnya dipotong. Nyatanya, tidak. Berarti, pake obat donk?
Menurut cerita pak Pawiro, dia mulai berjualan sate sekitar tahun 70an dan waktu itu masih menggunakan pikulan. Target operasinya adalah para pedagang di Gondomanan. Tentu saja, orang berhak meningkatkan diri (upgrade tak hanya milik computer!) untuk tak lagi berjalan kaki mengedarkan dagangannya. Suatu saat, pelanggan lah yang mendatangi tempat jualan (counter). Mulailah pak Pawiro berjualan di Pasar Gading (jalan Mayjen Sutoyo), selatan Alun-alun Kidul Keraton Yogyakarta.
Dengan berjualan sate, pak Pawiro bisa menyekolahkan anaknya hingga tamat kuliah. Di tahun 90an itu, pak Pawiro berjualan ditemani istrinya. Ketika sekitar tahun 2000an saya ingin memanjakan lidah dan perut saya dengan menyantap sate Pak Pawiro, sang ibu tak lagi menemaninya. Ketika saya bertanya bagaimana kabarnya ibu, Pak Pawiro yang suaranya kecil (dulu waktu jualan keliling teriak gak ya?) hanya lirih berucap “Ibu sudah dipanggil Tuhan”.
Saat ini, pak Pawiro berjualan ditemani 2 orang anak laki-lakinya. Jam mulai operasionalnya adalah pukul 16.00. Jangan meniru saya di tahun 90an yang pergi kesana pukul 19. Saat ini, pukul 18 saja kadang pak Pawiro sudah berkemas hendak pulang karena dagangannya sudah habis! Harga satu porsinya, Rp 10.000,00 exclude lontong. Buat saya, ini adalah harga yang masuk akal mengingat harga ayam kampung yang memang tak semurah ayam import.
Ketika saya mengambil foto-foto ini, saya iseng bertanya, “Pak, sudah pernah dikunjungi mak nyusssssssssssssss (Bondan@wisata Kuliner Trans TV)?” Dijawabnya belum. Mudah-mudahan, suatu saat pak Pawiro dikunjungi mister Mak Nyusssss ini dan dagangannya makin laris sehingga beliau bisa pensiun menikmati hari tuanya dengan santai karena anaknya sudah siap mengambil alih tongkat estafet sate Pak Pawiro.
Jika keinginan saya tercapai, saya hanya bisa membayangkan Mr Mak Nyus ini makan sate Pak Pawiro sambil berujar, “Pemirsa, ini sate benar-benar mak nyussssssssssssssss”
Pesan saya pada pembaca, jika Anda memiliki akses ke Mr Mak Nyus, silahkan forward promosi ini. Saya yakin, seyakin-yakinnya, Mr Mak Nyus pasti terbuai oleh aroma dan rasa sate Pak Pawiro. Mak nyussssssssssssssssssssssssssss