Friday, July 4, 2008

[perjalanan] Gunung Kawi

 

Gunung Kawi. Menyebut kata Gunung Kawi, orang selalu berpikir tentang sebuah tempat untuk mencari pesugihan (kekayaan) dengan cara supranatural. Mitos tentang Gunung Kawi sebagai tempat mencari pesugihan memang sangat dikenal masyarakat luas.

Dari cerita-cerita yang ada, orang mengatakan seseorang berubah hidupnya menjadi kaya setelah dia pergi ke Gunung Kawi melakukan ritual. Cerita yang lain mengatakan jika pergi ke Gunung Kawi mencari pesugihan, harap siap jika di kemudian hari, harus menerima karma nya. Ada yang mengatakan keturunannya lah yang nanti akan menjadi kompensasi “menggantikan” kekayaan yang diperoleh setelah ritual dijalani. Misalnya, anaknya atau cucunya akan menjadi cacat

Versi lain mengatakan, jika seseorang pergi ke Gunung Kawi, begitu menginjakkan kaki di sana, maka terjadilah “kontrak” dengan sang penjaga Gunung Kawi yang bisa memberi kekayaan atau kesuksesan.

Dari cerita-cerita itu, saya merasa ngeri untuk pergi ke sana. Tapi, teman saya mengatakan bahwa Gunung Kawi adalah tempat wisata biasa, dimana kita bisa menikmati dinginnya hawa pengunungan dan udara sejuk tanpa harus menjalani ritual sebagaimana banyak dilakukan orang.

Karena yakin akan cerita teman, akhirnya saya berangkat ke sana berwisata bersama teman tadi. Ketika tiba di sana, sebagaimana layaknya tempat wisata biasa, saya merasakan hawa dingin pegunungan. Banyak tempat penginapan dan pemandu wisata yang mengais rejeki di tempat itu. Sama sekali saya tak merasakan hawa mistis yang mengitari diri saya.

Gunung Kawi yang banyak dikunjungi orang karena mitosnya tadi sebenarnya adalah makam Eyang Djoego dan Eyang Raden Mas Iman Soedjono. Mbah Djoego adalah Kanjeng Kiai Zakaria II, seorang tokoh karismatik yang berasal dari keraton Mataram. Ia adalah keturunan penguasa Mataram Kartasura. Sedangkan RM Iman Soedjono adalah ketururan penguasan keraton Mataram Yogyakarta. Keduanya memerintah pada abad yang sama, abad ke-18.

Kedua orang tersebut dikenal dengan kharisma dan sifat-sifat baiknya. Mereka adalah tokoh keagamaan dan pendakwah Agama Islam. Mereka juga dihormati karena sifat-sifat patriotiknya sebagai pengikut setia Pangeran Diponegoro ketika berperang melawan Belanda pada tahun 1825 – 1830. (disarikan dari buku Pesarean Gunung Kawi susunan R.S. Soeryowidagdo)

        

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Malamnya, saya menuju ke makam tersebut tanpa maksud ziarah atau doa seperti yang dilakukan banyak orang. Tepat sebelum pintu masuk ke makam, terdapat pos dimana pengunjung bisa melihat jadwal selamatan dan memesan ubo rampe (peralatan) untuk selamatan.


Saya menginap di sebuah penginapan tepat di samping padepokan rumah tinggal kedua tokoh tersebut.

Di samping makam kedua tokoh yang dihormati tersebut, ada juga jasa “ciamsi”, yaitu untuk melihat nasib seseorang. Saya agak penasaran dengan jasa “ciamsi” ini karena seorang teman mengatakan ramalannya cukup ampuh.

Paginya, saya iseng saja menggunakan jasa “ciamsi” ini. Tarifnya sukarela. Saya diminta membeli minyak untuk dituangkan ke tempat pemujaan. Karena tak tau apa-apa tentang “ciamsi”, saya bertanya pada penjaga (kuru kunci) apa yang harus saya lakukan.

Saya diminta “meminta ijin” pada Mbah Djoego dengan menyebut nama serta mengocok sebuah tempat dari bamboo yang berisi banyak ruas batang bamboo sampai sebuah bamboo keluar dari tempatnya. Kemudian, saya harus melempar dua batang kayu. Jika kedua batang kayu itu menghadap pada sisi yang sama, itu artinya belum mendapat ijin dari Mbah Djoego untuk meminta “ciamsi”. Saya harus mengulang 4 kali sampai akhirnya kedua batang kayu itu sisinya berlainan.

Setelah dianggap “diijinkan”, saya menunjukkan batang bamboo yang tadi sudah keluar dari tempatnya kepada sang juru kunci. Setelah melihat kode pada bamboo tadi, sang juru kunci memberi saya secarik kertas yang sudah tercetak. Kertas itu bertuliskan:

Ini waktu punya kemajuan supaya tidak jadi kapiran,
Baiklah lebih dulu bersedia jangan buat penasaran,
Pegang kekuatan hati jangan buat gusaran,
Lekas dating disamping dewa Taij Pek jangan buat ketularan

Walah, saya bingung menerjemahkannya. Bahasanya agak Malay dan saya teringat jaman dulu ketika membaca buku 1001 tafsir mimpi atau lembaran untuk mencari nomor kode buntut!

Sebelum pulang, di samping penginapan terdapat sebuah papan yang bertuliskan:

PEMANDIAN AWET MUDA “SUMBER MANGGIS INDAH”

Emangnya kalau mandi di situ, rambut saya yang putih bisa segera pulih jadi hitam?
Emangnya kalau mandi di situ, gigi saya yang sudah tanggal bisa kembali lagi?

Terus, kenapa penduduk sekitar situ banyak juga yang berwajah tua?

Gunung Kawi memang misteri!

 

14 comments:

  1. Pulang-pulang makanya belanja 100 lebih kaset, wis sugih!
    kalau gunung yang mesum itu apa ya? Yang ada komplek pelesirannya

    ReplyDelete
  2. beli kasetnya hari minggu, sebelum ke gunung Kawi. makanya jadi mlarat terus ke gunung Kawi.
    he..he..he....

    ReplyDelete
  3. hiii...jadi pengin kesana lagi...serasa di hongkong he..he...he
    dari tempatku dekat mas...paling2 30 - 40 KM

    ReplyDelete
  4. wow, Singo Edan?

    saya di malang kemarin bingung. Lewat jalan Kawi, lapangan soft ball sudah berubah jadi mal olympic.

    ReplyDelete
  5. iya..bener ..walah kok gak mampir ke tempatku..kapan2 mbak Tiwi diajak kesana mas....rekreasi bersama he..he..he

    ReplyDelete
  6. Mbak Tiwi tuh anti kopdaaarrr!!!

    ReplyDelete
  7. ngendi to iki? sampean samsoyo sugih no...

    ReplyDelete
  8. Ngak mangan pecel Gunung Kawi, kon? Komplit plus saren.

    ReplyDelete
  9. sugih utang alias kokean credit card. :)

    ReplyDelete