Tuesday, April 17, 2007

Koleksi SIM Card





Ketika awal menggunakan HP, saya menggunakan nomor SIMPATI. Saat ingin ganti kartu HALO, saya mencoba mencari nomor sesuai keinginan saya namun tidak tersedia. Akhirnya pakai saja nomor yang ada.

Suatu ketika, 11 Mei 2004, pada hari ultah seorang teman MPer (siapa ya?), tak sengaja lihat nomor di etalase penjual SIM Card, 0817xxx2904. Nomor Pro-XL. Saya langsung membelinya. Pembelian SIM Card ini ternyata berlanjut pada ketidaksengajaan berikutnya menemukan nomor Flexi (0274) 7xx2904. Setelah itu, hunting nomor SIM Card seperti menjadi hobby dan virus akut (istilah seorang teman MPer) yang tak direncanakan sebelumnya.

Merasa tak puas dengan kartu HALO yang tidak 2904, saya pun mencoba berusaha bagaimana caranya bisa mendapatkan nomor tersebut. Beruntunglah saya punya kenalan pejabat Telkomsel. Saya email beliau, dan keinginan saya terkabul. Inilah nomor yang paling sulit saya dapat! Karena, saya sudah beberapa kali saya mencari nomor ini di Grapari tapi tak pernah dapat. Terima kasih pak Agus xxxxx (nama dirahasiakan, red.)!

Selanjutnya, berburu nomor menjadi hobby tersendiri. Sampai saat ini, koleksi nomor saya mencapai 38. Rencananya, kalau sudah mencapai 100, daftar ke MURI. Muri adalah saudaranya Yon, Yok, (alm) Tony dan Nomo Koeswoyo.

Kegemaran mengoleksi nomor ini bukannya tanpa halangan. Suatu ketika, saya kehilangan nomor sebanyak 7 buah. Setelah saya telusuri, ternyata nomor itu telah dicuri tukang yang bekerja membetulkan rumah. Rasanya, saya mau marah saja! Dengan penyelidikan yang bisa dipertanggungjawabkan, saya bisa menyimpulkannya dan saya panggil tukang itu. Ingin sekali mukul sang maling seperti yang terjadi pada siswa di IPDN!

Awalnya, sang tukang tidak mengaku. Setelah saya ancam akan saya laporkan polisi, baru dia mengaku. Sampai-sampai, bapaknya pun datang untuk minta maaf. Ganteng-ganteng koq nyolong? Meskipun ganteng, kalau maling ya tetap maling!

Kejengkelan saat berburu nomor terjadi ketika jika di penjualnya, tersedia nomor 2901, 2902, 2903, 2905, 2906, dst. 2904 udah terjual!!! Ini terjadi berkali-kali dan entah mengapa ini sangat sering terjadi jika sedang hunting nomor Mentari dan Simpati! Makanya, koleksi nomor Mentari dan Simpati tidak banyak. Saya cuma punya 1 nomor Mentari. Itu pun, cover nya hilang karena kelakukan si tukang maling dan maling tukang.

Kalau ada yang mau nyumbang simcard dengan nomor akhir 2904, saya gak nolak. Tuhan pasti membalas kebaikan teman-teman. Setuju???


Wednesday, April 11, 2007

brontok, brondong, brokong

Friends,


2 hari yang lalu, maksain ke warnet yang bukan langganan. Waktu mau log in yahoo gak bisa. sampai berulang2. terus, DL dari babikecap. stlh selesai, file yang ekstensi .mp3 itu berubah jadi apa geto?


colokin flashdisk, waktu di explore, para folder di fd itu sudah berwarna hitam dan membentuk folder baru dengan ekstensi .exe. Wadauwwwwwwwwww ini pasti brontok!!!!


besoknya, langsung cari anti brontok gratisan. susah amat ya? apa memang kurang canggih dalam search yang gratis?


2 hari ini, kehidupan jadi kaco deh. gara-gara brontok yang brondong dan brokong itu!!!@@@@???????


Bagaimana caranya ya membasmi dan mendapatkan pembasmi brontok yang manjur???


pls, i need your help! kaya lagunya The Beatles.


tq a lot.

Thursday, April 5, 2007

Lumpur Lapindo: Lihat mereka…….

 


Perjalanan pulang ke kampung yang mestinya menjadi membuat senang, ternyata harus dibungkus dengan kekhawatiran. Jadwal kereta yang tercantum di tiket pukul 9.10 dari Stasiun Gubeng, Surabaya, meleset jauh. Kereta mengalami keterlambatan. Baru pada pukul 10.30 kereta berangkat menuju ke Jember.


 


Memasuki Porong, kereta harus memperlambat laju kecepatan karena rel kereta sudah digenangi lumpur. Kecepatan yang lambat membuat sebagian penumpang mengarahkan lensa kamera (baik pesawat komunikasi maupun kamera digital) beramai-ramai memotret bencana ini. Penduduk yang memiliki intuisi bisnis pun menawarkan VCD Lumpur Lapindo seharga Rp 10.000,00 per keping. Saya membeli lebih karena kasihan pada penjual. Beberapa penumpang lain juga membeli.


 


Melihat kondisi jalan yang sudah tak layak pakai karena digenangi air bercampur lumpur, rasa kasihan pada penduduk pun muncul. Tanpa harus mencari siapa yang bersalah, entah Lapindo Brantas atau alam, penduduk tetap menjadi korban. Rumah mereka tak lagi bisa dihuni sementara janji ganti rugi hanya menjadi wacana tanpa ada bukti nyata.


 


Sehari sebelum pulang ke Surabaya, dipastikan kereta jurusan Jember – Surabaya tak beroperasi. Saya membatalkan tiket yang sudah saya beli seminggu sebelumnya. Saya dan anak terpaksa naik bus. Di terminal, kami pun harus menunggu beberapa saat sebelum mendapatkan bis patas. Bagian informasi yang ditanya jadwal keberangkatan bis awalnya mengatakan bis berangkat pukul 8.00. Pukul 8.00, ketika bis patas yang kami tunggu tak muncul, saya bertanya lagi pada bagian informasi dan dijawab bis patas tak beroperasi. Mengapa pelayanan di Indonesia selalu berwajah buruk dan selalu berbohong?


 


Ketika akan memutuskan naik bis ekonomi, bis patas datang. Pertanyaan yang sama, mengapa petugas di bagian informasi harus berbohong? Hanya untuk informasi seperti ini saja harus berbohong. Makanya Indonesia gak pernah bisa maju karena pejabat-pejabatnya suka bohong meskipun hal-hal kecil.


 


Sopir yang ditanya jam berapa sampai di Surabaya tak berani memberi jaminan kepastian karena rute perjalanan pun diubah memutar ke Mojokerto terlebih dahulu. Wah, terbayang betapa perjalanan normal 4 jam harus berubah menjadi 6 atau 7 jam?


 


Untungnya, rute via Mojokerto tak terjadi. Teman saya mengirim SMS, “itung-itung sambil piknik, mas!” Nakal juga komentar teman yang satu ini. Sesampai di Porong, kamera digital kembali beraksi. Kami melewati rute beberapa hari sebelumnya. Perbedaannya, rel kereta sudah tak dapat lagi dilihat.


 


Saya tertarik pada 2 spanduk yang terpampang di jalan masuk pembuatan tanggul yang berbunyi:


 


“Hay Antek Lapindo DENGARKANLAH!!!


Tangisan dan Rintihan Rakyat Kecil menunggumu


Tegakkan hukum di Indonesia dalam porsi yang sebenar


nya dan pihak lapindo tidak ada macam2


Sertifikat petok D atau letter C HARUS DIBAYAR!!!”


 


dan 


 


“Kami warga korban Lumpur


Memberi batas pembayaran sampai 31 Maret 07


Jika Tidak!!! Seluruh kegiatan Lapindo


HARUS DIHENTIKAN”


 


 


Nampaknya, penduduk sudah bosan dengan janji-janji yang berupa wacana dan kebohongan-kebohongan yang selalu melintasi udara kehidupan kita.


 


Sampai kapan, penduduk/rakyat kecil menjadi korban kebohongan dan pendengar wacana yang indah-indah?


 


 


Yogyakarta, 5 April 2007


 


foto-foto baru ada di album Lumpur Lapindo