Perjalanan pulang ke kampung yang mestinya menjadi membuat senang, ternyata harus dibungkus dengan kekhawatiran. Jadwal kereta yang tercantum di tiket pukul 9.10 dari Stasiun Gubeng, Surabaya, meleset jauh. Kereta mengalami keterlambatan. Baru pada pukul 10.30 kereta berangkat menuju ke Jember.
Memasuki Porong, kereta harus memperlambat laju kecepatan karena rel kereta sudah digenangi lumpur. Kecepatan yang lambat membuat sebagian penumpang mengarahkan lensa kamera (baik pesawat komunikasi maupun kamera digital) beramai-ramai memotret bencana ini. Penduduk yang memiliki intuisi bisnis pun menawarkan VCD Lumpur Lapindo seharga Rp 10.000,00 per keping. Saya membeli lebih karena kasihan pada penjual. Beberapa penumpang lain juga membeli.
Melihat kondisi jalan yang sudah tak layak pakai karena digenangi air bercampur lumpur, rasa kasihan pada penduduk pun muncul. Tanpa harus mencari siapa yang bersalah, entah Lapindo Brantas atau alam, penduduk tetap menjadi korban. Rumah mereka tak lagi bisa dihuni sementara janji ganti rugi hanya menjadi wacana tanpa ada bukti nyata.
Sehari sebelum pulang ke Surabaya, dipastikan kereta jurusan Jember – Surabaya tak beroperasi. Saya membatalkan tiket yang sudah saya beli seminggu sebelumnya. Saya dan anak terpaksa naik bus. Di terminal, kami pun harus menunggu beberapa saat sebelum mendapatkan bis patas. Bagian informasi yang ditanya jadwal keberangkatan bis awalnya mengatakan bis berangkat pukul 8.00. Pukul 8.00, ketika bis patas yang kami tunggu tak muncul, saya bertanya lagi pada bagian informasi dan dijawab bis patas tak beroperasi. Mengapa pelayanan di Indonesia selalu berwajah buruk dan selalu berbohong?
Ketika akan memutuskan naik bis ekonomi, bis patas datang. Pertanyaan yang sama, mengapa petugas di bagian informasi harus berbohong? Hanya untuk informasi seperti ini saja harus berbohong. Makanya Indonesia gak pernah bisa maju karena pejabat-pejabatnya suka bohong meskipun hal-hal kecil.
Sopir yang ditanya jam berapa sampai di Surabaya tak berani memberi jaminan kepastian karena rute perjalanan pun diubah memutar ke Mojokerto terlebih dahulu. Wah, terbayang betapa perjalanan normal 4 jam harus berubah menjadi 6 atau 7 jam?
Untungnya, rute via Mojokerto tak terjadi. Teman saya mengirim SMS, “itung-itung sambil piknik, mas!” Nakal juga komentar teman yang satu ini. Sesampai di Porong, kamera digital kembali beraksi. Kami melewati rute beberapa hari sebelumnya. Perbedaannya, rel kereta sudah tak dapat lagi dilihat.
Saya tertarik pada 2 spanduk yang terpampang di jalan masuk pembuatan tanggul yang berbunyi:
“Hay Antek Lapindo DENGARKANLAH!!!
Tangisan dan Rintihan Rakyat Kecil menunggumu
Tegakkan hukum di Indonesia dalam porsi yang sebenar
nya dan pihak lapindo tidak ada macam2
Sertifikat petok D atau letter C HARUS DIBAYAR!!!”
dan
“Kami warga korban Lumpur
Memberi batas pembayaran sampai 31 Maret 07
Jika Tidak!!! Seluruh kegiatan Lapindo
HARUS DIHENTIKAN”
Nampaknya, penduduk sudah bosan dengan janji-janji yang berupa wacana dan kebohongan-kebohongan yang selalu melintasi udara kehidupan kita.
Sampai kapan, penduduk/rakyat kecil menjadi korban kebohongan dan pendengar wacana yang indah-indah?
Yogyakarta, 5 April 2007
foto-foto baru ada di album Lumpur Lapindo