Saturday, March 8, 2008

{tontonan} Sidang Susila – Tokoh di Republik Yang Sok (a)Susila

 

Tiba saatnya bagi saya nonton pementasan teater Sidang Susila oleh Teater Gandrik yang sudah saya post sebelumnya. Foto-foto yang saya ambil sangat tidak memuaskan karena saya kurang cepat hadir di tempat pertunjukan hanya karena sok tau, mengira pertunjukan diadakan di Gedung Purna Budaya, tetapi ternyata di Gedung Societet.

Jadi, untuk menikmati fotonya, silahkan menuju ke multiply rekan saya, mas Begawan Kodir, yang sudah terlebih dahulu menonton pertunjukan ini di Jakarta.

Sinopsis bisa dibaca di blog saya yang lain atau di multiply mas Begawan Kodir sambil lihat-lihat fotonya.

Di tulisan ini, saya hanya ingin menyampaikan apa yang bisa saya terjemahkan dari Sidang Susila.

Tokoh-tokoh dalam lakon ini buat saya sungguh menarik untuk diinterpretasikan:
Pak Hakim (Heru Kesowo Murti) yang berdandan ala Opa Irama di acara yang telah almarhum, “news dot com” serta berpakaian ala putih; Kepala Keamanan (Jaduk Ferianto), yang berpakaian prajurit dengan kostum full biru; Ibu Jaksa (Whani Dharmawan) yang berpakaian merah; Ibu Pembela (Butet Kartaredjasa) yang berpakaian “nano-nano” serta bidak catur yang berwarna merah dan kuning, yang dimainkan penjaga sel sambil menjaga sang pesakitan, Susila Parna (Susilo Nugroho), yang berpakaian compang camping adalah interpretasi fantasi liar saya yang semoga tidak selamanya benar.

Pak Hakim yang berdandan ala Opa Irama dan berpakain putih itu, menurut saya adalah representasi dari seorang seniman, mendapat sebutan “Raja” ndanxxxx yang begitu tega “menghabisi” karir Inul Daratista dengan beralasan moral. Pakaian putih adalah representasi sebuah partai yang benderanya berwarna putih dan selalu mengatakan dirinya partai yang bersih.

Kepala Keamanan yang berkostum biru, bertugas menjaga keamanan (moral) bangsa, buat saya adalah lambang partai biru, sebuah partai yang digagas oleh tokoh yang disebut reformis.

Ibu Jaksa yang diperankan dengan sangat bagus oleh Whani Dharmawan, menjadi simbol yang mengajak kongkalikong antara jaksa, pengacara dan hakim. Dan warna merah yang menjadi kostum sang bu Jaksa, saya interpretasikan sebagai warna dasar sebuah partai, yang kuat dalam melobi dan mengatur segala urusan.

Ibu Pembela yang berpakaian “nano-nano” adalah sebuah simbolisasi “oportunis”, yang awalnya begitu idealis tapi akhirnya “manut” saja (isuk dele sore tempe).

Bidak catur berwarna merah dan kuning yang dimainkan penjaga sel, dimana lakonnya adalah saling menyerang untuk mengalahkan raja, menjadi gambaran betapa partai kuning dan partai merah saling menjegal untuk berebut tahta di negara ini.
Cerita Sidang Susila ini menjadi simbolisasi negara kita dimana para “tokoh” ingin membungkus negara kita menjadi negara yang moralis. Segala sesuatu yang “berbau porno” menurut interpretasi mereka – sementara menurut orang lain tidak – harus diundangkan dan mengikuti apa kata pikiran mereka.

Dialog antara pak Hakim, Bu Jaksa, Bu Pembela dan Penjaga Keamanan, memberikan gambaran yang sangat jelas betapa dunia hukum di negara kita tak lebih dari faktor lobi-lobi untuk memenangkan suatu kepentingan.

Susila Parna, sang pesakitan, harus merelakan diri menjadi korban sebagaimana rakyat yang selalu jadi korban.

Menyaksikan pertunjukan ini, tak boleh sedetikpun kehilangan konsentrasi ucapan yang keluar dari “cangkem” para tokoh karena semua yang terucap adalah apa yang nyata ada di kehidupan bernegara kita dan itu semua mestinya bisa menjadi refleksi bagi para tokoh di negara kita yang sering menampik nalar dalam mendidik bangsanya.

Butet Kartaredjasa, Heru Kesawa Murti, Jaduk Ferianto, Susilo Nugroho, Whani Dharmawan (urut abjad) yang menjadi tokoh sentral dalam cerita ini patut diacungi jempol. Dua jempol saya tujukan khusus kepada Whani Dharmawan yang memerankan bu Jaksa, yang beberapa kali berucap seperti pendeta atau romo dalam berkotbah. Gile benerrrrrr!

“Satu hal yang saya kehilangan dari pementasan teater Gandrik kali ini adalah interaksi dengan penonton yang biasanya porsinya lumayan banyak.” Itulah kesan saya ketika ditanya oleh istrinya Butet Kartaredjasa di balik panggung, sambil membersihkan make-up suaminya, yang tak lagi berkelamin “perempuan” liar setelah pentas selesai dan mendapat tepuk tangan meriah dari penonton.

 

1 comment:

  1. Wah, aku malah kehilangan "cerita" saat nonton di TIM. Baru ngeh bar ditulis ulang ro Mas Singo...

    BTW, aku pasn nonton kethoprak yo kleru, langsung dlujur neng Purna Budaya, bak'e neng societet... ealah...

    ReplyDelete