Wednesday, February 13, 2008

{tontonan} - SIDANG SUSILA - Gandrik Menyutradarai Gandrik

 

Gandrik Menyutradarai Gandrik (by Butet Kartaredjasa)

Ketika sebuah proses penciptaan pertunjukan teater dikerjakan rame-rame, dikeroyok dari kiri kanan, digelontor ide-ide dari semua pendukungnya, -- rasanya agak gegabah jika ada yang berani mengaku sebagai “sutradara”. Dalam pemahaman standart, sutradara adalah kreator tunggal yang memiliki ororitas penuh terjadap proses penciptaan itu. Dia adalah pemilik hak prerogratif dan bersifat mutlak. Jelas, ada subyektivitas yang menggerakkan seluruh kerja kreatif. Bukan saja pada tafsir terhadap cerita, tetapi juga mengarahkan pemeranan, merancang bangunan dramatik, menata bloking, mengagas tata visual (set, make up, kostum), membimbing penciptaan musik dan sebagainya. Pendeknya, seluruh eksekusi dan citra yang hadir di atas panggung, merupakan pertaruhan kreativitas dari sang sutradara itu.

Menyadari hal ini, lakon SIDANG SUSILA yang nyatanya dikerjakan secara keroyokan, sama sekali tidak punya nyali untuk mengukuhkan seseorang sebagai sutradaranya. Yang ada dan agak mendekati fungsi tugas penyutradaraan, hanyalah seorang motivator yang sekaligus mengatur lalu lintas gagasan yang saling berseliweran. Siapa pun yang terlibat dalam proses – pemain, pemusik, penulis cerita, penata artistik – boleh menyumbang gagasan. Bahkan diwajibkan. Maka yang namanya ide dan pemikiran bagai saling berlompatan, dan semua yang terlibat dalam proses ini berusaha menjala gagasan-gagasan terbaik untuk dijadikan pilihan. Semuanya dari hari ke hari selalu bertumbuh. Apa yang dicetuskan kemarin, mungkin akan ditawar kembali. Atau dikukuhkan sebagai pencapaian final.  

Harus diakui ini bukanlah eksperimen yang mengada-ada. Tapi sebuah keniscayaan yang diam-diam mewarnai proses terciptanya lakon-lakon Teater Gandrik selama ini. Awalnya sih memang ada keinginan menggunakan konvensi penyutradaraan yang normal. Tapi dalam kultur Gandrik yang gemar celelekan dan doyan saling mengolok, rupanya hal itu membuat para pendukungnya jadi merasa dungu, -- karena gairah kreatif seperti terkunci. Inisiatif jadi mampat.

Maka, ketika “sutradara” kemudian membuka ruang-ruang partisipasi dalam setiap proses penciptaan, yang semula dibayangkan sebagai sesuatu yang mustahil, ternyata menjadi mustahal. Ide-ide liar bermunculan dan saling bertabrakan. Kadang bisa memperkuat gagasan, tapi juga bisa hanya letupan garing yang segera dicampakkan oleh olok-olok. Dari jejak inilah sebenarnya, jika mau ditelusur, bermula sebuah gaya berteater yang oleh almarhum Kirdjomulyo dipredikati sebagai “sampakan”. Sebuah gaya bermain yang terkesan “main-main”: keluar masuk ke dalam peran, dengan iringan musik dan tari menari, selalu berupaya membangun dramatika tapi tidak segan untuk menghancurkannya sendiri.

Catatan pendek ini perlu disampaikan bukan sebagai provokasi menjadikan hal beginian sebagai tradisi. Namun untuk sekadar mengingatkan bahwa sebenarnya banyak jalan dan kemungkinan menuju terciptanya sebuah karya. Semakin kaya dengan kemungkinan, akhirnya masyarakat pula yang akan diuntungkan. Dalam skala yang lebih kecil, proses SIDANG SUSILA ini barangkali bisa mengimbuh pengetahuan kawan-kawan Gandrik anyar, sebuah generasi baru yang kali ini ikut berproses. Mereka bisa melihat dan merasakan keganjilan penciptaan sandiwara yang abnormal.

Jadi, jika ditanya “Siapa sutradaranya?” – jawabnya: “Teater Gandrik!”.***

sumber: Butet Kartaredjasa

 

No comments:

Post a Comment