Monday, May 19, 2008

Vertigong – Orang Jawa Main Jazz: Beli 1 Dapat 3





Pertunjukan oleh kelompok Kua Etnika, Sinten Remen dan Teater Gandrik serta Butet Kartaredjasa (monolog) pasti menghadirkan satu hal yang sama: kelucuan!

Yang pertama muncul di benak saya ketika akan menonton Vertigong adalah kelucuan. Membayangkan akan menikmati pertunjukan jazz seperti ditampilkan oleh grup band Krakatau (sebelum mengusung ethnic jazz) dan Karimata di pertengahan 80an mungkin tak akan ada. Itu justifikasi dari saya sebelum menonton Vertigong.

Pertunjukan yang hanya ditampilkan satu kali di Yogya ini membuat tiket terjual sold out. Dimulai agak molor (agak di luar kebiasaan kelompok Butet & Djaduk!) pertunjukan langsung digebrak dengan penampilan komposisi berjudul Gumarenggeng. Pertemuan dua jenis alat musik tradisional (Jawa) dan modern (east meets west) tersusun dalam harmoni yang menghilangkan kesan alat musik tradisional tak pernah bisa bersenyawa dengan alat musik barat.

Purwanto, sang composer memberi kata pembuka setelah komposisi pertama. Sedikit kurang pede karena biasanya komposisi Kua Etnika digarap oleh sang boss, Djaduk Ferianto, Purwanto berharap penonton tak kecewa. Wadaw, tak perlu minder, Pur! Inilah waktunya narcist. Toh, terbukti komposisi pada pentas ini tidaklah mengecewakan!

Komposisi “Gambang Carawak”, dimana enam orang “mengeroyok” alat musik Gambang menandakan bahwa para personil di Kua Etnika tidaklah sehidup semati pada satu alat musik. Ini yang jarang saya temui pada grup lain. Berlanjut dengan bintang tamu, Christopher Abimanyu, yang suaranya menggelegar menyaingi Pavarotti itu pada komposisi “Tumungkul. “.

Kelucuan yang sudah saya bayangkan sebelumnya mulai terasa ketika mereka ber-accapela pada komposisi “Aubabauw” (= abab bau) dimana mereka hanya menggunakan media mulut untuk menghasilkan irama yang nikmat untuk didengar. Berlanjut pada penampilan Djaduk Ferianto, sang komandan Kua Etnika yang kali ini menjadi bintang tamu, pada komposisi “Sekedap” dan disusul oleh Trie Utami yang “beradu mulut” dengan DJ Aduk (julukan spontan Trie Utami pada Djaduk yang menghasilkan tawa penonton!) pada bagian akhir komposisi ini..

Selanjutnya Trie Utami yang ketularan “gila” oleh para personil Kua Etnika ini nekat mengusir Djaduk untuk tampil prima pada komposisi “Konstan”. Penampilannya mengingatkan saya ketika dia masih bergabung dengan Krakatau. Suaranya masih prima dan tak jauh berbeda dengan 22 tahun yang lalu.

Pada komposisi “Clap Tone”, para personil Kua Etnika hanya mengandalkan permainan tangan dan – sekali lagi – bisa menghasilkan irama yang dapat dinikmati. Saya membayangkan betapa komposisi ini tak mungkin tampil luar biasa tanpa didukung latihan ekstra keras dan kekompakan.

Pagelaran ditutup dengan komposisi “Vertigong”, dimana alat musik timur yang pentatonic bertemu dengan alat musik barat yang diatonic. Hampir tak dapat ada celah yang membelah di antara dua jenis musik yang berbeda ekstrim itu. Komposisi ini mengingatkan saya pada pagelaran jazz oleh Krakatau dan Karimata.

Menonton Vertigong sama seperti membeli paket hemat. Beli 1 dapat 3: jazz-nya, gamelannya, dan….. dagelannya!

No comments:

Post a Comment